Selasa, 18 Mei 2010

DOKUMENTASI KEGIATAN


Kamis, 13 Mei 2010

LATAR BELAKANG PERILAKU SEKS BEBAS
DAN PERKEMBANGANNYA DALAM POLA
KEHIDUPAN MASYARAKAT

Oleh Abdul Syani

I. Latar Belakang Perilaku Seks Bebas
Seks pada hakekatnya merupakan dorongan narluri alamiah tentang
kepuasan syahwat. Tetapi banyak kalangan yang secara ringkas
mengatakan bahwa seks itu adalah istilah lain dari Jenis kelamin yang
membedakan antara pria dan wanita. Jika kedua jenis seks ini
bersatu, maka disebut perilaku seks. Sedangkan perilaku seks dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan untuk menyatakan cinta dan
menyatukan kehidupan secara intim. Ada pula yang mengatakan
bahwa seks merupakan hadiah untuk memenuhi atau memuaskan
hasrat birahi pihak lain. Akan tetapi sebagai manusia yang beragama,
berbudaya, beradab dan bermoral, seks merupakan dorongan emosi
cinta suci yang dibutuhkan dalam angka mencapai kepuasan nurani
dan memantapkan kelangsungan keturunannya. Tegasnya, orang yang
ingin mendapatkan cinta dan keturunan, maka ia akan melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya.
Perilaku seks merupakan salah satu kebutuhan pokok yang senantiasa
mewarnai pola kehidupan manusia dalam masyarakat. Perilaku seks
sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Setiap golongan masyarakat memiliki persepsi dan batas
kepentingan tersendiri terhadap perilaku seks.
Bagi golongan masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan nilai
dan norma, agama serta moralitas budaya, cenderung memandang
seks sebagai suatu perilaku yang bersifat rahasia dan tabu untuk
dibicarakan secara terbuka, khususnya bagi golongan yang dianggap
belum cukup dewasa. Para orang tua pada umumnya menutup
pembicaraan tentang seks kepada anak-anaknya, termasuk mereka
sendiri sebagai suami isteri merasa risih dan malu berbicara tentang
seks. Bagi kalangan ini perilaku seksual diatur sedemikian rupa
dengan ketentuan-ketentuan hukum adat, Agama dan ajaran moralitas,
dengan tujuan agar dorongan perilaku seks yang alamiah ini dalam
prakteknya sesuai dengan batas-batas kehormatan dan kemanusiaan.
Biasanya hubungan intim antara dua orang lawan jenis cenderung
bersifat emosional primer, dan apabila terpisah atau mendapat
hambatan, maka keduanya akan merasa terganggu atau kehilangan
jati dirinya.
Berbeda dengan hubungan intim yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
modern, biasanya cenderung bersifat rasional sekunder.
Anak-anak yang mulai tumbuh remaja lebih suka berbicara seks
dikalangan teman-temannya. Jika hubungan intim itu terpisah atau
mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri
dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam
lingkungan pergaulan lainnya. Lembaga keluarga yang bersifat
universal dan multi fungsional, baik pengawasan sosial, pendidikan
keagamaan dan moral, memelihara, perlindungan dan rekreasi
terhadap anggota-anggota keluarganya, dalam berhadapan dengan
proses modernitas sosial, cenderung kehilangan fungsinya. Sebagai
konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan
batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka
pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk
kedalam kebiasaan baru. Seks sebagai kebutuhan manusia yang
alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi
oleh dorongan naluri seks secara subyektif. Akibatnya sering terjadi
penyimpangan dan pelanggaran perilaku seks di luar batas hak-hak
kehormatan dan tata susila kemanusiaan.
Latar belakang terjadinya perilaku seks bebas pada umumnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama
keyakinan agama dan moralitas;
2. Semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan
kuantitas pengetahuan tentang perilaku seks pada lingkungan
sosial dan kelompok pertemanan;
3. Kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan
sehari-hari;
4. Sensitifitas penyerapan dan penghayatan terhadap struktur
pergaulan dan seks bebas relatif tinggi;
5. Rendahnya konsistensi pewarisan contoh perilaku tokoh-tokoh
masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berwenang;
6. Rendahnya keperdulian dan kontrol sosial masyarakat;
7. Adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan;
8. Rendahnya pengetahuan tentang kesehatan dan resiko
penyakit berbahaya;
9. Sikap perilaku dan busana yang mengundang desakan seks;
10. Kesepian, berpisah dengan pasangan terlalu lama, atau
karena keinginan untuk menikmati sensasi seks di luar
rutinitas rumah tangga;
11. Tersedianya lokalisasi atau legalitas pekerja seks.
Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan
bebas antara pria dan wanita, baik bagi kalangan remaja maupun
kalangan yang sudah berumah tangga. Hal ini dimungkinkan karena
sosialisasi norma dalam keluarga tidak efektif, sementara cabang
hubungan pergaulan dengan berbagai pola perilaku seks di luar rumah
meningkat yang kemudian mendominasi pembentukan kepribadian
baru. Kalangan remaja pada umumnya lebih sensitif menyerap
struktur pergaulan bebas dalam kehidupan masyarakat. Bagi suami
isteri yang bekerja di luar rumah, tidak mustahil semakin banyak
meninggalkan norma-norma dan tradisi keluarga sebelumnya,
kemudian dituntut untuk menyesuaikan diri dalam sistem pergaulan
baru, termasuk pergaulan intim dengan lawan jenis dalam peroses
penyelesaian pekerjaan. Kondisi pergaulan semacam ini seseorang tidak
hanya mungkin menjauh dari perhitungan nilai harmonisasi keluarga,
akan tetapi selanjutnya semakin terdorong untuk mengejar karier
dalam perhitungan ekonomis material. Kenyataan ini secara implisit
melembaga, dimaklumi, lumrah, dan bahkan merupakan kebutuhan
baru bagi sebagian besar keluarga dalam masyarakat modern.
Kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem
pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral
dan kepedulian terhadap hukum-hukum agama. Sementara di pihak
lain, jajaran pemegang status terhormat sebagai sumber pewarisan
norma, seperti penegak hukum, para pemimpin formal, tokoh
masyarakat dan agama, ternyata tidak mampu berperan dengan
contoh-contoh perilaku yang sesuai dengan statusnya. Sebagai
konsekuensinya adalah membuka peluang untuk mencari kebebasan
di luar rumah. Khususnya dalam pergaulan lawan jenis pada
lingkungan bebas norma dan rendahnya kontrol sosial, cenderung
mengundang hasrat dan kebutuhan seks seraya menerapkannya secara
bebas.
Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang
normal, akan tetapi karena mereka tidak cukup mengetahui secara
utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka lumrah kalau mereka
menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi,
tak perduli resiko. Kendatipun secara sembunyi-sembunyi mereka
merespon gosip tentang seks diantara kelompoknya, mereka menganggap
seks sebagai bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan remaja. Kelakar pornografi merupakan kepuasan tersendiri,
sehinga mereka semakin terdorong untuk lebih dekat mengenal
lika-liku seks sesungguhnya. Jika immajinasi seks ini memperoleh
tanggapan yang sama dari pasangannya, maka tidak mustahil kalau
harapan-harapan indah yang termuat dalam konsep seks ini benarbenar
dilakukan.
II. Popularitas Perilaku Seks Bebas dalam kehidupan masyarakat
Pupulernya perilaku seks di luar nikah, karena adanya tekanan dari
teman-temannya atau mungkin dari pasangannya sendiri. Kemudian
disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu seks secara emosional, di
samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan
rasa keingintahuan yang tinggi tentang seks. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan bahwa gadis melakukan seks di luar nikah
karena tekanan teman-temannya sesama wanita. Teman-temannya
mengatakan bahwa:
"Semua gadis modern melakukannya, kalau tidak, ya.., termasuk gadir kampungan";
"Jaman sekarang tak ada lagi perawan-perawanan, nikmati saja hidup ini dengan
keindahan".
Dengan demikian Ia melakukannya hanya untuk membuktikan
bahwa iapun sama normalnya dengan kelompok teman modernnya
yang telah terperangkap dalam penyimpangan moral. Ia ingin tetap
diterima oleh kelompok temannya secara berlebihan, sehingga
mengalahkan kepribadian dan citra diri. Pengakuan lain, bahwa
melakukan seks dengan alasan agar cinta pasangannya semakin
kuat, dan apabila aku tidak melakukannya, berarti aku tidak bisa
menunjukkan bukti cintaku kepadanya.
Kecuali itu, karena mereka telah beribu-ribu kali memperoleh
informasi tentang kehebatan dan kedahsyatan seks itu, baik dari
pergaulan sehari-hari maupun dari mass media, seperti televisi, film,
show, majalah dan brosur-brosur porno yang cenderung mengagungkan
kehidupan seks inkonvensional, dimana terdapat kemudahan untuk
berkencan intim, berpegangan, berpelukan, meraba, dan bahkan
tidur bersama. Gosip-gosip seks secara bertubi-tubi dan secara
berantai telah membakar rasa penasaran mereka terhadap seks,
sehingga timbul pertanyaan dalam hayal mereka:
"seperti apa sih rasanya seks itu"?,
"apa benar sedahsyat yang dikatakan orang"?
Dalam perasaan penasasan, mereka akhirnya mencari tahu sendiri
dengan riset partisipatif. Setelah seks itu ditemukan dalam praktek,
lalu semuanya terjawab dan ternyata sesuai dengan hipotesis, sehingga
terbentuklah perilaku yang namanya KETAGIHAN. Kalangan pencinta
seks ini berpikir bahwa:
"kalau sudah basah, sekalian mandi saja; sekali terlanjur, lebih baik seterusnya".
Mantan perawan sekali nge-seks, sama artinya melakukan 6 atau 7
kali, toh perawan tak akan kembali, mengapa harus dibatasi? Di
sinilah awal mulanya tumbuh pernyataan perang dari mereka terhadap
segala macam norma yang membatasi kebebasan seks.
Secara teoritis memang hubungan cinta ada yang bersifat platonis,
yaitu cinta tanpa unsur nafsu badaniah terhadap kekasihnya. Cinta
semacam ini pada perinsipnya mengandung semangat "apa yang dapat
aku lakukan untukmu". Akan tetapi secara umum dalam
perkembangannya, seks lebih didambakan secara fisik, ketimbang
hubungan cinta dan kasih sayang. Sebagian pihak menganggap
hubungan cinta dianggap sebagai alasan untuk memperoleh kepuasan
seks semata. Di sinilah seks menjadi kepanjangan dari perasaan cinta.
Kisah cinta yang konvensional dianggap tidak variatif, cengeng,
ketinggalan jaman dan tidak jantan.
Menanggapi perkembangan pemahaman pola kehidupan seks tersebut,
dapat diasumsikan bahwa orang masa kini cenderung "lebih cepat
jatuh seks ketimbang jatuh cinta". Cinta dan seks dikondisikan
sebagai wujud sikap dan perilaku majemuk yang sekaligus mengandung
unsur nilai persahabatan, pergaulan intim, menikmati kebersamaan,
kasih sayang, hubungan seks, dan saling mempercayai antar
sesama lawan jenisnya tanpa batas yang tegas.
Dalam hubungan seks pada umumnya terdapat proses kesepakatan
bahwa masing-masing pelaku berbuat secara sukarela dan bebas dari
ikatan norma atau jaminan resiko jangka panjang. Semua perilaku
seks disepakati sebagai sebuah kemerdekaan yang bebas dari tuntutan
moral. Hubungan cinta cenderung tidak konsisten, tergantung kapan
datangnya letupan perasaan kebutuhan seksual. Keperdulian terhadap
kepentingan dan kegelisahan orang lain sering diwujudkan dalam katakata
dan tindakan yang semu sebagai dalih atau muslihat untuk
memperoleh hubungan seks. Kata-kata yang mengatasnamakan cinta
sering dilontarkan sebagai jebakan yang sebenarnya mengandung
unsur pemaksaan. Beberapa contoh pernyataan yang umum
dilontarkan untuk memperoleh kesepakatan hubungan seks, misalnya:
"Aku sudah terlalu lama menunggu, kalau malam ini kamu menolak, lupakan saja
semuanya".
"Aku bawa kondom sutra kok, tidak ada masalah".
"Kamu kan bagian dari hidupku, dan aku bagian dari hidupmu, ayo dong!".
"Toh tak ada bedanya isteri dan calon isteri. Kita toh siap kawin kalau ada apa-apa".
"Aku bisa saja dengan gadis lain, tapi aku hanya membutuhkan persatuan jiwa raga
dengan engkau seorang".
"Jika kamu benar-benar cinta, maka kamu tak akan tega menyiksa aku".
Ungkapan-ungkapan tersebut sebenarnya bermaksud agar pasangannya
tidak menunda-nunda hubungan seks yang dituntutnya. Jika
kebutuhan terpenuhi, maka sementara waktu berikutnya hubungan
komunikasi dan interaksi antar sesamanya menghambar. Dalam
kondisi demikian biasanya timbul pikiran-pikiran rasional,
perhitungan-perhitungan masa depan (what nexs), dan tuntutan
aktualisasi diri dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
III. Karakteristik dan Pola Perkembangan Perilaku Seks Bebas
dalam Kehidupan Masyarakat
Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa perilaku seks pranikah
terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang
dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Ukuran moral berbicara
tatkala hubungan seks terjadi melalui pemaksaan fisik. Seks
pernikahan secara formal dilakukan sebagai suatu dalih umum
lantaran sebelumnya terdapat hambatan atau kesulitan untuk mempeloleh
seks. Keserasian seks dalam rumah tangga diperhitungkan
melalui kuantitas pengalaman coba-coba bermain seks tersendiri
dengan berganti-ganti pasangan. Sedangkan kualitas keserasian seks
yang menyatu dalam kehidupan bersama antara dua pribadi yang utuh,
bersatu dalam pembinaan dan tanggungjawab keluarga berdasarkan
rambu-rambu hukum agama, moral dan budaya, dianggap sebagai
tapal batas penghalang kenikmatan hubungan seks.
Pola pikir dan perhitungan pria terhadap hubungan seks, cenderung
tidak didasarkan pada penilaian baik buruknya pribadi dan perilaku
pasangannya secara keseluruhan, atau jaminan kesetiaan hidup
bersama dalam perspektif masa depan, melainkan diukur semata-mata
karena selera tertarik dari segi fisik yang indah, montok dan menggiurkan.
Sementara dipihak wanita masa kini seolah memberikan
reaksi yang positif dengan sengaja bersikap, berperilaku (termasuk
mode busana) yang secara nyata menonjolkan dan membuka bagianbagian
tubuh yang diketahui mengundang birahi. Kalau diketahui
karakteristik pria lebih merupakan gejala badaniah yang didorong
oleh gemuruh seks yang dangkal, sementara wanita cenderung
memberikan peluang, maka meskipun pria sebagai sumber inisiatif
penekan dalam melakukan serentetan pendekatan seks melalui
pegangan tangan, ciuman, memeluk dan mencumbu; bukan berarti
sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab, tetapi pihak
wanita juga menentukan tingkat intimitas batas kepantasan
hubungan seks mereka. Oleh karena itu dalam perkembangan
hubungan intim itu, lagi-lagi pihak wanita menyerah dan mengizinkan
pria untuk memenuhi tuntutan seksnya, lantaran iapun sesungguhnya
mempunyai deru-gelora nafsu seks tersendiri. Sebab bila puncak birahi
keduanya telah seimbang, maka hampir tak ada orang yang sanggup
menolak keinginan hubungan seksnya, baik dengan alasan-alasan
rasional maupun alasan-alasan moral, dosa ataupun sanksi sosial.
Dalam perburuan seks, kaum pria cenderung bersifat lebih independen
dan interaktif dalam posisi meminta dan menekan (memaksa),
sehingga tanpa disadari terjadi eksploitasi perilaku seks yang
kemudian mengaburkan makna cinta dan seks. Pihak wanita sendiri
memberikan reaksi seks dalam posisi terikat (dependen) dan tak
mampu menolak tuntutan seks. Keterikatan wanita dalam perilaku
seks masa kini cenderung salah kaprah menanggapi makna mitos
cinta sejati yang berarti "rela memberikan segalanya". Hal ini justeru
diartikan sebagai proses kompromi seks yang saling merelakan segala
yang berharga demi sebuah kenikmatan seks. Oleh karena itu nilai
pengorbanan, harga diri dan penyesalan, akibat hubungan seks
tersebut semaksimal mungkin ditiadakan. Artinya kebebasan seks
cenderung dipandang sebagai perilaku pemuasan nafsu yang
melahirkan kenikmatan belaka, dan melupakan realitas negatif akibat
dari seks itu sendiri.
Perilaku seks bebas, tak terkecuali perselingkuhan kaum pria dan
wanita berumah tangga, dipandang sebagai kesenangan hidup tanpa
ikatan, sehingga patut dijadikan kebutuhan permanen. Resiko
perilaku seks bebas, seperti kehamilan dan tercemarnya nama baik
keluarga tidak lagi menakutkan, disamping karena peristiwa ini
sudah biasa terjadi, juga karena kehamilan dapat dicegah melalui
kebebasan penggunaan kontrasepsi (paling tidak, kondom sutra).
Kebiasaan seks bebas dapat mengakibatkan orang semakin tidak
mampu menahan birahinya yang sewaktu-waktu mendesak, sehingga
tidak mustahil terjadi perkosaan di mana-mana sebagaimana diketahui
cenderung meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Dari segi sosial-psikologis, perilaku seks bebas dianggap tidak
mendatangkan beban tanggungjawab yang besar, dan tidak pula
dirasakan sebagai pencemaran terhadap tradisi adat dan moral.
Tentang kemungkinan terjadi depresi karena perasaan berdosa,
penyesalan atau rasa takut terjangkitnya penyakit kelamin, semuanya
tidak termasuk dalam perhitungan. Persepsi masyarakat terhadap
perilaku seks cenderung menghalalkan seks atas dasar argumen saling
suka, saling cinta, dan saling membutuhkan. Kondisi semacam ini
mengisyaratkan suatu pengakuan terhadap penyelewengan hubungan
(love affair) atau perselingkuhan, baik sebelum atau sesudah menikah.
Kondisi ini kemudian menempatkan posisi hubungan intimitas seks
manusia mendekati persamaannya dengan perilaku seks pada binatang.
Meskipun perilaku seks semacam ini masih tersembunyi, akan
tetapi secara realistik diam-diam diakui, terutama bagi mereka yang
tak mampu menahan nafsu seksnya dalam jangka waktu tertentu.
Mungkin karena kesepian, atau karena terperangkap dalam perkawinan
yang tak bahagia, bisa juga karena ingin menikmati sensasi seks di
luar rutinitas rumah tangga. Gejala ini kemudian mendorong
timbulnya gerakan sosial (social movement) dari kolektifitas kelompok
untuk menegakkan pola perilaku seks bebas. Meskipun secara
terselubung dalam jangka waktu tertentu, tetapi lama kelamaan
akan membawa perubahan perilaku yang diakui oleh seluruh lapisan
masyarakat sebagai suatu kelaziman. Sepanjang hubungan seks itu
masih dalam kerangka jaminan kepentingan bersama dengan sedikit
mungkin beban tanggungjawab atas syarat-syarat kontrak sosialnya,
maka selama itu pula rutinitas hubungan seks akan berlangsung
sebagai suatu kelaziman dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang ideal, tentu semua
tindakan itu dapat dikategorikan sebagai jalan pintas yang mengotorkan
jiwa, pikiran dan fisik, karena mau tak mau ada perasaan tak
layak, kotor, berdosa dan pengaruh negatifnya, baik terhadap
hubungan perkawinan maupun terhadap masa depan remaja. Semua
tindakan itu dapat menurunkan kesucian dan kemulyaan perkawinan,
di samping dapat merusak sumber daya generasi muda. Perilaku seks
bebas dapat membentuk struktur kemasyarakatan dalam status sosial
yang rendah dalam kehidupan masyarakat.
Pentingnya Kesehatan Reproduksi Remaja

• Oleh Eny Winaryati

ANGKA Kematian Ibu (AKI) di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Di antara faktor penyebabnya adalah ancaman kesehatan reproduksi. Kesehatan wanita di masa dewasa dan tua tidak terlepas dari kondisi sebelumnya, yaitu masa remaja. Masa remaja sangat rentan dengan berbagai persoalan kesehatan repoduksi. Ini merupakan masa yang tepat untuk intervensi pendidikan dasar tentang kesehatan reproduksi melalui berbagai media dan cara penyampaian, dengan strategi model pembelajaran yang kreaif dan komunikatif.

AKI di Indonesia menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (2008) adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup, tertinggi di Asia Tenggara. Penyebabnya antara lain tingginya angka kematian akibat komplikasi pada kehamilan dan persalinan, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual, dan kanker reproduktif. Kematian banyak terjadi terutama pada masyarakat miskin dan tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Ancaman kesehatan reproduktif ini membutuhkan pemahaman dan penerapan melalui berbagai strategi.

Harapannya secara perlahan, namun pasti dapat mengurangi AKI. Pemerintah melalui Dinas Kesehatan yang didukung LSM, ormas, sekolah, PKK, dengan berbagai bentuk kegiatan seperti penyuluhan, pelatihan, optimalisasi peran posyandu, karang taruna, dan lain-lain, tertumpu pada satu tujuan, yaitu meningkatnya derajat kesehatan kususnya bagi perempuan, umumnya bangsa Indonesia.

Ini mengingat jumlah penduduk berdasarkan data pilah angka harapan hidup di Jawa Tengah adalah perempuan (72,9%), laki-laki (69%), di Indonesia perempuan (66,8%), laki-laki (70,7%) (2007). Hal ini mengindikasikan bahwa pemberdaayaan perempuan melalui kesehatan reproduksi akan berdampak pula pada pembangunan bangsa, karena masalah kesehatan reproduksi sesunggguhnya juga merupakan persoalan bangsa.

Kesehatan wanita di masa dewasa dan tua tidak terlepas dari kondisi sebelumnya, yaitu masa remaja, dan anak-anak. Pada masa anak-anak (6-12 tahun), pendidikan seks sudah harus diberikan sesuai dengan kondisi dan kadar kemampuan.

Masa remaja (12-18 tahun), merupakan periode yang sangat penting dan berpengaruh terhadap perkembangan pola tingkah laku di masa tua. Yakni, masa sejak puber sampai saat di mana anak telah mencapai kedewasaan, baik psikologis, seksual, maupun fisiologis.

Remaja pada awal perkembangan (12 -13 tahun), terdapat perbedaan pertumbuhan fisiologis dan perubahan sosial yang berbeda dengan ketika anak-anak. Dalam dirinya terjadi perubahan alat reproduksi dan pertumbuhan tubuh secara keseluruhan. Masa remaja merupakan masa transisi, baik dari sudut biologis, psikologis, sosial, maupun ekonomis, penuh dengan gejolak dan guncangan.

Pada masa ini timbul minat kepada lawan jenis dan secara biologis alat kelaminnya sudah produktif. Remaja menganggap dirinya sudah dewasa dan ia perlu kebebasan yang lebih. Dari sinilah muncul perbedaan konflik antara orang tua dan remaja.

Penyesuaian

Sementara itu, dalam perkembangannya, pribadi dari para remaja mengalami banyak masalah dalam penyesuaian diri bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada saat ini peran keluarga dan guru sangat dibutuhkan untuk membimbing para remaja ke arah yang benar.

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan menjadi seorang wanita yang dewasa, dan merupakan masa penting dan menentukan. Pada masa ini peningkatan status kesehatan dan pertumbuhan yang memadai dapat membantu menopang kebutuhan aktivitas yang membutuhkan banyak energi pada masa dewasa kelak, misalnya pekerjaan manual yang berat atau perawatan anak.

Beberapa penelitian menyiratkan, keberadaan TV dengan perangkat pendukung, banyak disalahgunakan oleh sebagian remaja. Berdasa Beberapa penelitian menyiratkan, keberadaan TV dengan perangkat pendukung, banyak disalahgunakan oleh sebagian remaja. Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap 217 siswi SMP swasta di Kota Semarang pada 2008, untuk kelas II dan III didapatkan data 23% pernah melihat film porno. Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Bila ditilik berkenaan dengan pengetahuannya tentang kesehatan reproduksi, diperoleh gambaran sebagian besar (99%) berada pada kategori sedang dan kurang, meliputi pengetahuan tentang menstruasi, seks, penyakit kelamin, dan KB.

Minimnya pengetahuan ini akan berpengaruh pada perilaku. Hal ini dapat dilihat sekitar sembilan siswi (4%) di antaranya telah melakukan hubungan seks dengan pacar, saudara, dan orang tuanya. Bila ditilik dari pekerjaan bapak ditemukan sebagai buruh (30%), tidak bekerja (6,5%), sementara pekerjaan ibu (20,7%) menjadi buruh. Kondisi ekonomi keluarga yang kurang beruntung, ikut memengaruhi perkembangan anak.

Hasil penelitian lain yang dilakukan penulis terhadap buruh perempuan pada salah satu pabrik di Kota Semarang, dari 88 sampel diperoleh data empat orang (4,3%) menyatakan pernah melakukan hubungan suami-istri dengan alasan suka sama suka dan satu orang diperkosa. Berdasarkan hasil analisis terhadap perilaku kesehatan reproduksi pada sampel yang sama, diperoleh data 42% berperilaku kurang pada pemahaman berkenaan dengan hubungan seks pada saat menstruasi masih diperoleh data 22% setuju dengan alasan tidak tahu.

Berdasarkan penelitian terhadap siswi SMP, persoalan tentang seksologi sebagian besar (73%) diperoleh dari media informasi, kakak/saudara, dan diskusi dengan teman. Pada buruh perempuan 78%, informasi tentang seks dapat diperoleh dari diskusi dengan teman dan pacar. Hasil penelitian terhadap siswi salah satu SLTA di Semarang, diperoleh data sebagian besar 65% permasalahan tentang seksologi disampaikan kepada temannya. Hal ini dimungkinkan, karena 40% siswinya tinggal di pondokan.

Informasi dan persoalan seks seharusnya diperoleh dan disampaikan oleh dan atau kepada orang tua, guru/ustadz, atau pegawai kesehatan. Perolehan informasi yang kurang tepat akan berdampak pada minimnya pengetahuan remaja. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sumber informasi yang paling bertanggung jawab yaitu orang tua dan guru justru terkecil.

Gambaran tersebut, bila ditilik berkenaan dengan kesehatan reproduksi yang dialami oleh siswi SMP (dari 217 siswi), diperoleh gambaran 57% berada dalam kategori sedang dan kurang. Persebarannya, 29% siswi memiliki keluhan pada alat kelaminnya, seorang siswi merasakan panas pada alat kelaminnya pada waktu kencing, 10 siswi (5%) merasakan gatal pada alat kelaminnya, 97 siswi (45%) mengalami keputihan.

Berdasarkan pengukuran kadar hb pada buruh pabrik terhadap 88 sampel didapatkan data kadar hb-nya sebagian besar 56% kurang normal. Pada penelitian lain terhadap ibu post partum (pasca melahirkan) di Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, diperoleh data sebagian besar (86%) terkena anemia ringan (bila kadar hb-nya 9-10 gr%) dan sedang (bila kadar hb-nya 7-8gr%). Kadar hb normal wanita adalah 12 ñ 16 gram %.

Pendidikan tentang kesehatan reproduksi dapat diberikan melalui berbagai media, cara/strategi penyampaian dengan berbagai strategi model pembelajaran yang komuniatif. (37)

— Eny Winaryati, dosen di Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), anggota PSW Jateng.

Sumber : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/03/03/100759/Pentingnya-Kesehatan-Reproduksi-Remaja
DAMPAK PORNOGRAFI

Media baik elektronik maupun cetak saat ini banyak disorot sebagai salah satu penyebab utama menurunnya moral umat manusia termasuk juga remaja. Berbagai tayangan yang sangat menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat hubungannya dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual.

Dengan semakin majunya teknologi komunikasi, saat ini hampir tidak ada satupun kekuatan yang mampu mengendalikan atau melakukan sensor terhadap berita maupun hiburan termasuk berita atau tayangan yang termasuk dalam kategori pornografi.

Mungkin satu-satunya yang mampu mengendalikan dampak media tersebut adalah nilai yang ada di dalam diri remaja itu sendiri. Moral atau kemampuan untuk melakukan penilaian mana yang baik dan mana yang buruk harus ditanamkan sedini mungkin. Manakala remaja kemudian berhadapan dengan situasi sosial yang sangat kompleks maka ia masih mampu untuk menunjukkan jatinya.

Pornografi di Media Massa

Pornografi di media adalah materi seks di media massa yang secara sengaja ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual.

Contoh-contoh pornografi di media massa adalah gambar atau foto wanita dengan berpakaian minim atau tidak berpakaian di sampul depan atau di bagian dalam majalah atau media cetak, kisah-kisah yang menggambarkan hubungan seks di dalam berbagai media cetak, adegan seks di dalam film bioskop, Video atau Video Compact Disc (VCD), dan sebagainya.

Pendidikan seks, meskipun menyajikan tulisan dan gambar tentang seksualitas, tetapi tidak termasuk ke dalam pornografi, pendidikan seks bertujuan memberi pemahaman yang benar mengenai seksualitas. Karena itu penyajiannya dilakukan tidak dengan cara yang membangkitkan birahi.

Akibat Pornografi

Pada dasarnya sesuatu yang berbau porno bertujuan merangsang hasrat seksual pembaca atau penonton. Karena itu efek yang dirasakan orang yang menyaksikan atau membaca pornografi adalah terbangkitnya dorongan seksual.

Bila seseorang mengkonsumsi pornografi sesekali dampaknya mungkin tidak akan terlalu besar. Yang menjadi masalah adalah bila orang terdorong untuk terus menerus mengkonsumsi pornografi, yang mengakibatkan dorongan untuk menyalurkan hasrat seksualnya pun menjadi besar. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah dampak pornografi pada kalangan remaja.

Dampak pornografi pada remaja

Bila remaja terus menerus mengkonsumsi pornografi, sangat mungkin ia akan terdorong untuk melakukan hubungan seks pada usia terlalu dini, dan di luar ikatan pernikahan. Apalagi pornografi umumnya tidak mengajarkan corak hubungan seks yang bertanggungjawab, sehingga potensial mendorong perilaku seks yang menghasilkan kehamilan remaja, kehamilan di luar nikah atau penyebaran penyakit yang menular melalui hubungan seks, seperti PMS/AIDS.

Penelitian menunjukkan para konsumen pornografi cenderung mengalami efek kecanduan, dalam arti sekali menyukai pornografi, seseorang akan merasakan kebutuhan untuk terus mencari dan memperoleh materi pornografi. Bahkan lebih dari itu, si pecandu pornografi akan mengalami proses peningkatan (eskalasi) kebutuhan.

Contohnya, bila mula-mula seorang pria sudah merasa puas menyaksikan gambar wanita berpakaian renang, perlahan-lahan ia mencari gambar wanita tanpa pakaian. Bila mula-mula ia sudah puas dengan adegan hubungan seks antara satu pria dengan satu wanita, perlahan-lahan ia mencari adegan hubungan seks antara satu pria dengan beberapa wanita.

Normal pada remaja

Setiap manusia memiliki naluri seks dan karena itu wajar merasa senang dengan materi seks. Namun demikian, bila remaja sudah sering mengkonsumsi pornografi, dorongan untuk menyalurkan hasrat seksualnya menjadi tinggi. Karena itu, mengkonsumsi pornografi sejak remaja potensial mendorong tumbuhnya perilaku seks di luar pernikahan yang tidak bertanggungjawab.

Merendahkan Kaum Wanita

Umumnya pornografi memang menonjolkan wanita sebagai objek seks. Dalam hal ini, pornografi dapat memperkuat cara pandang bahwa wanita pada dasarnya hanya mahluk yang berfungsi sebagai pemuas nafsu seks pria saja. Lebih dari itu, banyak media yang menggambarkan adegan perkosaaan terhadap wanita sebagai peristiwa yang penuh kenikmatan dan sensasi. Karena itu, pornografi cenderung menempatkan wanita dalam posisi rendah.

Seseorang bisa saja melakukan tindakan perkosaan karena dipengaruhi oleh pornografi. Banyak sekali diberitakan media massa tentang perkosaan yang dilakukan setelah pelakunya menonton film porno. Namun demikian, perkosaan umumnya terjadi oleh pelaku yang memandang rendah derajat wanita. Karena itu, pornografi sering dianggap sebagai faktor yang memperkokoh budaya perkosaan terhadap wanita.

http://www.smallcrab.com/anak-anak/592-pornografi-di-media-massa-dan-pengaruhnya-pada-remaja

Senin, 10 Mei 2010

I LOVE SEX EDUCATION



BERPIKIR KRITIS DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERILAKU SEKS DAN AKIBATNYA

Perasaan sayang dan cinta tidak harus dibuktikan
dengan hubungan seks. Sayang dan cinta pada
masa remaja bisa dibuktikan dengan banyak
cara: bertatapan, berbicara, berjalan-jalan, dsb.
Hubungan antar teman atau dengan pacar
haruslah hubungan yang sehat, bukan hubungan
yang merugikan. Kamu berhak atas tubuh kamu
sendiri dan “berhak” berkata “tidak” (untuk
sentuhan atau hubungan seks yang tidak kamu
inginkan).

Remaja dan kita semua perlu ingat bahwa perilaku
seks yang tidak aman bisa mengakibatkan banyak
risiko yang dapat mengganggu masa depan dan
menghalangi kita untuk mencapai cita-cita.

Risiko-risiko tersebut antara lain:

1. Kehamilan
Hubungan seks satu kali saja bisa menghasilkan
kehamilan yang tak diharapkan. Kehamilan bisa
terjadi karena organ reproduksi sudah matang.
Tetapi tidak berarti remaja siap mengandung,
melahirkan, dan mengasuh bayi. Justru akan
banyak persoalan muncul baik secara fisik
(pendarahan, keguguran, kematian), secara psikologis
(takut, rasa salah, malu) maupun secara
sosial (dikucilkan, menjadi bahan gunjingan,
dikeluarkan dari sekolah, dll). Remaja laki-laki
yang harus menjadi ayah juga menghadapi
banyak masalah baru.
Mari kita berpikir kritis bersama-sama:
- Coba sekarang bayangkan kita mempunyai
bayi pada masa remaja ini.
- Bayangkan juga kesulitan dan masalah apa
saja yang bisa kita alami.
- Setelah membayangkan, pikirkan apa saja
yang harus kita lakukan untuk mencegah dan
menghindari masalah dan kesulitan itu.


Kalau sampai terjadi kehamilan pada masa remaja,
maka remaja bisa kehilangan banyak kesempatan
untuk mencapai cita-citanya. Agar terhindar dari
masalah-masalah yang bisa mengacaukan masa
depan itu, remaja harus bisa bersikap tegas dan
mengambil keputusan untuk tidak melakukan
hubungan seks sebelum waktunya. Kita tidak
hanya harus menghargai diri dan hidup kita sendiri
tetapi juga diri dan hidup orang lain!

2. Aborsi
Karena mengalami kehamilan yang tak
direncanakan dan tak diinginkan, banyak remaja
melakukan pengguguran kandungan atau
aborsi. Karena takut, malu, atau cemas, biasanya
mereka melakukan aborsi dengan cara-cara tidak
aman sehingga sangat berbahaya bagi fisik
karena bisa menyebabkan perdarahan, cacat,
bahkan kematian. Selain itu usaha aborsi bisa
mengganggu perasaan dan pikiran misalnya karena
rasa bersalah atau takut. Gangguan ini bisa
berlangsung lama sekali. Aborsi yang aman hanya
bila dilakukan oleh dokter ahli. Namun demikian,
aborsi tidak diperbolehkan di Indonesia.

MENGENALI SEBAB-SEBAB PERUBAHAN DAN BERPIKIR APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN DALAM MASA PUBERTAS

Perubahan fisik dan psikologis disebabkan bekerjanya
hormon-hormon. Hormon adalah zatzat
kimia yang dihasilkan bagian-bagian tertentu
dalam tubuh. Dari bagian-bagian tubuh itu,
hormon mengalir melalui darah ke bagian-bagian
tubuh lain dimana hormon itu harus bekerja dan
melakukan perubahan-perubahan pada tubuh kita.
Ada banyak jenis hormon dalam tubuh.
Pada masa PUBERTAS, hormon-hormon tertentu
di otak mengirim berita/perintah pada organorgan
reproduksi (organ seks) laki/perempuan
untuk membuat hormon-hormon seks. Organ seks
perempuan (indung telur) membuat hormon seks
yang disebut estrogen dan progesteron. Organ
seks laki-laki (testis) menghasilkan hormon seks
yang disebut testosteron. Hormon seks perempuan
memerintahkan indung telur untuk mengeluarkan
satu sel telur setiap bulan, sedangkan hormon seks
laki-laki memerintahkan testis untuk menghasilkan
sperma. Bila sperma laki-laki bertemu dengan sel
telur perempuan maka keduanya bersatu dan bisa
tumbuh menjadi bayi di dalam tubuh perempuan.
Artinya, waktu tubuh kita sudah menghasilkan
hormon-hormon seks, maka laki dan perempuan
sudah bisa menghasilkan keturunan/anak.


PUBERTAS PADA PEREMPUAN
Perjalanan sel telur
Pada masa pubertas (sekitar usia 11 – 12) , hormon
tertentu di otak mengirim berita pada indung telur
untuk memproduksi hormon seks estrogen dan
progesteron. Estrogen memberitahu sel telur
untuk berkembang/matang. Biasanya sel telur
matang satu per satu. Sekitar satu bulan satu kali
indung telur melepas satu sel telur yang ‘matang”
(disebut ovulasi). Sel telur atau ovum berjalan
ke saluran indung telur (falopi) dan terus sampai
ke rahim. Di saluran ini sel telur bisa bertemu
dan bersatu dengan sperma yang masuk melalui
vagina kalau terjadi hubungan seksual antara
laki dan perempuan. Hubungan seksual adalah
pertemuan organ seks laki-laki dan perempuan
sampai sperma laki-laki masuk melalui vagina
perempuan dan bersatu dengan sel telur. Telur
yang sudah dibuahi sperma pelan-pelan akan
melekat pada dinding rahim dan tumbuh menjadi
bayi selama 9 bulan.


Bila sel telur tidak bersatu dengan sperma setelah
meninggalkan indung telurnya, maka tidak akan
terbentuk bayi. Sel telur akan pecah dan bersama
sebagian dinding rahim dimana sel telur itu
bersarang akan luruh / keluar melalui vagina dalam
bentuk darah. Inilah yang disebut menstruasi atau
haid.

Jangan kuatir, semua itu normal !

Pada waktu haid pakailah pembalut untuk haid
(softex, tampon, dll) yang harus diganti beberapa
kali sehari. Selain itu, pada masa haid cucilah
vagina dengan air bersih. Salah satu keterampilan
hidup adalah kemampuan merawat kesehatan
dan kebersihan organ reproduksi kita dengan
benar.
Menstruasi atau haid terjadi setiap bulan selama
beberapa hari. Haid kadang-kadang disertai rasa
sakit/mules, bau badan, kesal, cepat marah, dll.
Berusahalah mengerti perubahan-perubahan
yang terjadi dalam diri kita (mengenal diri) agar
kita siap dan bisa mencari cara yang tepat untuk
menghadapinya. Ketika mengalami haid, dan
ada yang tidak kamu mengerti, maka janganlah
ragu untuk bertanya pada orang dewasa. Pada
saat seperti ini kemampuan untuk berbicara dan
bertanya (berkomunikasi) secara terbuka dengan
orang lain sangat penting karena hal itu bisa
membantu kita mengatasi rasa cemas, khawatir
atau takut.

PUBERTAS PADA LAKI-LAKI
Perjalanan sperma
Pada masa pubertas, salah satu hormon di otak
mengirim berita pada testis untuk memproduksi
hormon testosteron. Salah satu sel penting yang
diproduksi testis adalah sperma (100–300 juta
sperma per hari) berbentuk cacing atau kecebong
yang sangat kecil.

Sperma berenang melalui saluran sperma (vas
deferens) yang mengeluarkan cairan khusus.
Campuran sperma dan cairan ini disebut air mani
yang terkumpul sangat cepat. Bila penampung
cairan ini penuh, maka ia bisa keluar (ejakulasi)
melalui penis yang tegang (ereksi) secara spontan
dalam mimpi. Kejadian ini disebut mimpi basah.
Ketika laki-laki sudah bisa menghasilkan sperma,
maka hanya dengan satu saja sperma yang
bertemu/bersatu dengan sel telur perempuan
yang matang (melalui hubungan seks), maka
perempuan bisa hamil dan sel telurnya bisa
berkembang menjadi bayi.
MENGATASI STRES DAN KEBINGUNGAN MENGHADAPI PERUBAHAN FISIK DAN PSIKOLOGIS SELAMA PUBERTAS


Antara usia 10 – 15 tahun tubuh anak-anak mulai
berubah. Badan menjadi tinggi, tumbuh rambut
di ketiak dan sekitar alat kelamin, muncul jerawat,
wajah berminyak. Khusus pada perempuan:
payudara membesar, kadang ada rasa nyeri. Pada
laki-laki: suara membesar dan tumbuh jakun.
Masa remaja ini disebut masa PUBERTAS atau
akil-balik yaitu menjadi dewasa (tapi belum
dewasa lho). Lamanya bisa beberapa tahun dan
bisa berbeda-beda pada setiap anak/remaja.
Dalam masa pubertas ini, perubahan juga terjadi
pada pikiran, perasaan, hubungan pertemanan,
tanggungjawab (ini disebut perubahan psikologis).
Kadang-kadang remaja mengalami masalah dan
kesulitan ketika mengalami perubahan-perubahan
itu. Ada rasa bingung, kesal, malu, benci, bosan,
dan stres. Semua masalah itu terjadi karena
remaja belum terbiasa dengan perubahanperubahan
itu. Kalau semua perasaan negatif itu
dibiarkan, maka kita akan dipengaruhi dan diatur
oleh perasaan-perasaan negatif itu sehingga tidak
bisa lagi mengerjakan hal-hal lain dengan baik,
bahkan kita bisa sakit.

Nah pada masa-masa sulit seperti itulah diperlukan
kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah
yang dihadapi, baik masalah yang disebabkan
perubahan dalam diri sendiri maupun dalam
hubungan dengan orang-orang lain. Banyak cara
yang bisa dilakukan, antara lain berbicara secara
terbuka (komunikasi efektif) dengan orang-orang
yang kita percaya seperti teman, kakak, orang
tua, dan guru. Kita juga bisa membaca buku-buku
tentang pertumbuhan remaja dan pubertas agar
kita tahu bahwa remaja lain di seluruh dunia juga
mengalami hal yang sama.



MENGENAL ALAT REPRODUKSI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI


1. Indung telur (ovarium), yaitu gumpalan sebesar telur ayam yang terdiri dari sel-sel telur (ovum).

2. Saluran telur (tuba falopi), yang terletak di sebelah
kiri dan kanan rahim, yaitu saluran untuk dilalui sel
telur menuju rahim.

3. Rahim (uterus), sebuah rongga sebesar buah alpukat atau sebesar genggaman tangan orang
dewasa, terbuat dari otot-otot yang kuat untuk
membesarkan bayi selama 9 bulan.

4. Leher rahim (cervix), lubang kecil di bawah rahim
yang bisa membesar ketika bayi ke luar dari rahim.

5. Liang kemaluan (vagina), adalah jalan atau saluran
antara rahim (organ seks di dalam tubuh
perempuan) dengan organ seks bagian luar. Dari
vaginalah bayi keluar waktu dilahirkan.

6. Mulut Vagina, yaitu bagian luar dari vagina yang
merupakan sebuah rongga penghubung antara rahim dengan bagian luar tubuh. Lubang vagina
ini ditutupi oleh selaput dara yang dapat pecah
karena senggama atau karena sebab lain (jatuh,
kecelakaan, dll).

7. Klentit (clitoris), adalah benjolan daging kecil di
sekitar mulut vagina yang berisi banyak pembuluh darah dan syaraf sehingga merupakan bagian
yang peka.

8. Anus, lubang untuk mengeluarkan kotoran sisa
makanan. Karena dilalui oleh kotoran (bisa mengandung
kuman penyakit) maka harus selalu
dibersihkan dengan benar.




1. Kantung zakar (scrotum), kantung lembut yang
menahan dua buah testis berbentuk bola kecil.

2. Buah zakar (testis), dua bola kecil berisi sel-sel
kecil yang disebut sperma (mulai dihasilkan waktu
remaja). Sperma bisa keluar pada waktu remaja
laki-laki mengalami “mimpi basah”.

3. Saluran sperma (vas deferens), adalah sebuah
saluran bagi sperma dari testis menuju prostat.

4. Prostat, berfungsi menghasilkan cairan mani
yaitu cairan lengket yang akan bercampur dengan
sperma ketika keluar dari penis saat ejakulasi.

5. Saluran kemih (uretra), saluran untuk dilalui oleh
cairan mani yang mengandung sperma, dan juga
saluran air kencing. Air kencing dan mani tidak
akan keluar bersama-sama.

6. Batang kemaluan (penis), terbuat dari otot dan
merupakan saluran untuk keluarnya air kencing
maupun saluran keluarnya sperma. Ujung penis
sangat peka karena mengandung banyak syaraf,
sehingga bila diraba memberi rangsangan.

7. Kepala penis (glans), adalah bagian paling depan
dari batang kemaluan atau penis yang sangat
banyak mengandung pembuluh darah. Ujung
penis ini tertutup kulit yang biasanya dibuang
(dikhitan atau disunat). Sunat dianjurkan karena
memudahkan pembersihan penis sehingga
mengurangi kemungkinan terkena infeksi atau
penyakit lain.

Minggu, 04 April 2010

Kampanye Pacaran Sehat ‘steLOVEscope’


Remaja sebagai periode dari kehidupan manusia merupakan suatu konsep yang relatif baru dalam kajian psikologi. Istilah remaja dikenal dengan istilah “adolesence”, berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Untuk merumuskan sebuah definisi yang memadai tentang remaja tidaklah mudah, sebab rentang waktu yang dibutuhkan remaja untuk menjadi dewasa tidak dapat ditetapkan secara pasti. Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan menetapkan definisi remaja secara umum. Namun BKKBN pada salah satu surveynya yang mengkatagorikan remaja pada rentang usia 10-19 tahun, mendata jumlahnya di Indonesia sekitar 22% atau sekitar 44 juta jiwa. Artinya satu dari lima penduduk Indonesia berusia remaja. Selain itu istilah “akil balig” atau pubertas adalah sebutan yang seringkali digunakan di Indonesia untuk mengidentifikasikan masa remaja.
Perubahan fisik saat pubertas tentu saja akan diiringi oleh perubahan psikis terhadap perannya sebagai individu maupun sosial. Remaja akan sangat termotivasi untuk berhasil melalui perkembangan identitas pribadi dan keintiman dengan manusia lain. Dua individu yang saling tertarik pada umumnya akan melanjutkan hubungan mereka dengan status yang populer disebut pacaran. Menurut Yahya Ma’shum dan Chatarina Wahyurini dalam Kompas Cyber Media (11 April 2004) mendefinisikan bahwa Pacaran merupakan “proses sayang-sayangan dua manusia lawan jenis itu merupakan kegiatan mengenal dan memahami lawan jenisnya dan belajar membina hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan permasalahan pada saat sudah menikah. Masing-masing berusaha mengenal kebiasaan, karakter atau sifat, serta reaksi-reaksi terhadap berbagai masalah maupun peristiwa.” Sedangkan Samsunuwiyati (2005:222) menjelaskan bahwa aktivitas berpacaran, berkencan, bercumbu, sampai melakukan kontak seksual merupakan upaya remaja mengekspresikan dorongan seksualnya untuk melepaskan diri dari ketegangan seksual.
Proses pacaran tersebut memungkinkan terjadinya penemuan jati diri sendiri sekaligus kehilangan batas-batas diri sendiri terhadap pasangan. Namun sebaliknya, jika proses pacaran bila tidak berhasil disikapi dengan baik akan membentuk sikap-sikap negatif dan berbagai keputusan yang salah dan berbahaya bagi perkembangan jiwa dan masa depan remaja. Hasil survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, BPS, 2004) menunjukkan bahwa remaja yang setuju melakukan hubungan seks jika akan menikah mencapai 16,2%, saling mencintai sebanyak 12,0%, dan suka sama suka 12,3%. Meskipun jumlahnya tidak terlalu besar, namun sikap permisif ini bisa menjadi faktor pendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pra-nikah. Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN, Lalu Sudarmadi mengungkapkan, sekitar 40 sampai 45 persen remaja Indonesia melakukan hubungan seks sebelum nikah (Gatra.com, 5 Juli 2007).
Hubungan seks di luar nikah merupakan titik ekstrim yang selama ini dinilai masyarakat sebagai bentuk penyimpangan kelakuan pada pasangan remaja. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (Dosen Fakultas Psikologi UI) memaparkan bahwa kebanyakan hubungan seks antar remaja di Indonesia terjadi setelah hubungan mereka berjalan kira-kira enam bulan. Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya hubungan seks tersebut disebabkan karena kebutuhan suasana hati yang tepat, khususnya untuk remaja puteri. Harus timbul perasaan cinta, suka, percaya, menyerah dan sebagainya terhadap pasangannya terlebih dahulu. Jika sudah terlena oleh sikap pacarnya, remaja puteri dapat kehilangan kontrol diri. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan pada empat pelaku pacaran tidak sehat, khususnya seks bebas.
Sebenarnya pacaran sehat tidak hanya diukur secara seksual, namun juga dari segi fisik, emosional dan sosial. Tapi masalah pacaran dalam hal tersebut kebanyakan kurang disadari. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan pada tiga narasumber yang tidak menyadari hubungan mereka cenderung tidak sehat karena semata-mata mereka mengaku tidak melakukan seks bebas.
Fenomena pacaran tidak sehat ini semakin marak terjadi karena globalisasi informasi menjadi media pertukaran nilai-nilai dari berbagai tempat di dunia. Termasuk kebiasaan dan batas-batas dalam menjalin hubungan dengan pacar yang tidak sesuai dengan budaya timur. Sedangkan informasi yang menuturkan norma dan nilai-nilai yang harus tetap dijunjung ketika remaja berpacaran masih sangat minim. Karena itu, diperlukan suatu media informasi yang dapat digunakan sebagai alat sosialisasi tata cara pacaran yang sehat kepada remaja.

Tinjauan Umum Kesehatan Reproduksi Remaja

Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) ter-masuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual (FCI, 2000).

Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja Sangat Penting?

Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.

Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah (Kiragu, 1995:10, dikutip dari Iskandar, 1997).

Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran (Iskandar, 1997). Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena
kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.

Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), ke-kerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.

Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di pedesaan, haid
pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka pada risiko kehamilan dan persalinan dini (Hanum, 1997:2-3).

Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat
ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak (child physical abuse).

Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah (Iskandar, 1997).

Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh (O’Keefe, 1997: 368-376).

Remaja yang tidak mempu-nyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan (Kipke et al., 1997:360-367). Para remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk penyalahgunaan obat, minuman
beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi (Iskandar, 1997).

Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja

Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal (Pachauri, 1997).

Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual (Iskandar, 1997).

Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan reproduksi para remaja (Iskandar, 1997).

Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada, pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja (Outlook, 2000).

Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan confidentiality (Senderowitz, 1997a:10). Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi pada klien.

Kesehatan Reproduksi Remaja Masih Terabaikan


Kendati kesehatan reproduksi remaja di Indonesia telah memperoleh komitmen politik dari pemerintah dan parlemen, serta telah menjadi program nasional sejak tahun 2000, namun pengetahuan dan pengalaman para pengelola program ini masih rendah. Padahal, jika tidak ditangani dengan baik, kesehatan reproduksi remaja dapat menjadi masalah amat serius, karena tahun 2000 lalu kaum remaja telah menjadi kelompok populasi terbesar dalam piramida penduduk Indonesia.

Pendapat ini dikemukakan Dr Eddy Hasmi, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam Konferensi Internasional “Kaum Muda Asia dalam Risiko : Tantangan Sosial, Kesehatan dan Kebijaksanaan” di Taipei, Taiwan, Selasa (27/11). Konferensi yang disponsori oleh East-West Center, Hawaii, ini berlangsung hingga 29 November, dibuka oleh Menteri Kesehatan Taiwan Dr Lee Ming-liang.

“Secara nasional program kesehatan reproduksi remaja memang baru satu tahun berjalan, karenanya masih banyak kelemahan di lapangan. Kelemahan utama adalah pada sumber daya manusia untuk mengimplementasikan program ini,” kata Eddy Hasmi. Demikian dilaporkan wartawan kompas Irwan Julianto, dari Taipei.

Dikatakan, di tingkat nasional telah dibentuk Komisi Kesehatan Reproduksi untuk mengkoordinasi program seperti kesehatan reproduksi remaja, melibatkan lima departemen/lembaga, yaitu Departemen Kesehatan, BKKBN, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Departemen Sosial, serta LSM. Idealnya, komisi seperti ini dibentuk hingga ke tingkat kabupaten untk mnghindari tumpah tindih program. Menurut Eddy Hasmi, rencana ini masih jauh dari tercapai.

Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 47 juta orang remaja (10-19 tahun) atau 23 persen dari seluruh penduduk, lebih besar dibanding kelompok bayi dan anak-anak, dewasa, serta lanjut usia. Dr Peter Xenos dari East-West Center menyebut boom kaum remaja ini sebagai youth bulge yang ditandai dengan aneka masalah perilaku pengambilan risiko (risk taking behavior) seperi seks premarital, kehamilan remaja, dan penggunaan produk yang membahayakan kesehatan, seperti rokok, alkohol, dan narkotika/psikotropika.

Menurut Eddy Hasmi, saat ini belum ada hukum yang jelas untuk remaja, sementara peraturan yang ada justru belum sensitif terhadap masalah kesehatan reproduksi remaja. “Contoh yang paling jelas adalah jika ada siswa SLTP/A hamil, ia biasanya dikeluarkan dari sekolah. Begitu pula dengan penggunaan narkotika. Tidak ada peraturan pemerintah yang mengatur masalah ini, yang ada adalah kebijakan setiap sekolah,” katanya.

Untuk implementasi program kesehatan reproduksi remaja di Indonesia, direncanakan program penjangkauan dan yang berbasis klinik, serta pemberdayaan masyarakat dan kelompok untuk melakukan melakukan rujukan jika ada remaja yang mengalami masalah. Sayangnya, fasilitas kesehatan yang “ramah terhadap remaja” (adolescent friendly) masih amat terbatas jumlahnya, dan sebagian besar dikelola oleh LSM seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Padahal, ini adalah salah satu faktor kunci suksesnya program kesehatan remaja, selain program harus berorientasi pasar, yaitu berbicara dalam bahasa remaja dan harus mampu membangun kapasitas mereka.

Sumber : Kompas, Kamis, 29 November 2001

Masalah di Sekitar kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia
DR. Kartono Mohamad
LOKAKARYA STRATEGIS NASIONAL KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Jakarta-Jawa Barat/Cipayung Tanggal, 19-21 Juli 2000


Masalah kesehatan reproduksi remaja di Indonesia kurang mendapat perhatian yang cukup. Ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi:

1. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa masalah kesehatan reproduksi, seperti juga masalah kesehatan lainnya, semata-mata menjadi urusan kalangan medis, sementara pemahaman terhadap kesehatan reproduksi (apalagi kesehatan reproduksi remaja) di kalangan medis sendiri juga masih minimal. Meskipun sejak konperensi Kairo definisi mengenai kesehatan reproduksi sudah semakin jelas, diseminasi pengertian tersebut di kalangan medis dan mahasiswa kedokteran agaknya belum memadai.

2. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa masalah kesehatan reproduksi hanyalah masalah kesehatan sebatas sekitar poses kehamilan dan melahirkan, sehingga dianggap bukan masalah kaum remaja. Apalagi jika pengertian remaja adalah sebatas mereka yang belum menikah. Di sini sering terjadi ketidak konsistensian di antara para pakar sendiri karena di satu sisi mereka menggunakan istilah remaja dengan batasan usia, tetapi di sisi lain dalam pembicaraan selanjutnya mereka hanya membatasi pada mereka yang belum menikah.

3. Banyak yang masih mentabukan untuk membahas masalah kesehatan reproduksi remaja karena membahas masalah tersebut juga akan juga berarti membahas masalah hubungan seks dan pendidikan seks.

Definisi Kairo 1994 sudah secara tegas menyebutkan bahwa kesehatan reproduksi tidak hanya menyangkut masalah kehamilan dan persalinan, tetapi juga kesehatan dari organ-organ tubuh yang lain yang akan menjamin bahwa seseorang akan dapat melakukan fungsi reproduksinya secara sehat. Oleh karena itu masalah pertumbuhan tulang, khususnya tulang pinggul pada kaum perempuan, masalah anemia, masalah pertumbuhan endokrin, dan masalah penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi fungsi reproduksi tercakup dalam definisi kesehatan reproduksi tersebut. Banyak di antara faktor-faktor tersebut yang perkembanganya dipengaruhi oleh masalah-masalah kesehatan sewaktu masih remaja, bahkan semasa pra remaja.

Pelayanan yang Diperlukan.
Secara tradisional pelayanan kesehatan khususnya hanya ada jika bidang tersebut sudah dianggap sebagai cabang spesialis tersendiri. Sampai saat ini masalah kesehatan remaja belum menjadi cabang spesialis tersendiri di dunia kedokteran sehingga pelayanan khusus untuk kesehatan remaja (adolescent health) juga belum ada. Mungkin karena definisi remaja (adolesen) baru mulai di abad kedua puluh, dan itu pun pada mulanya lebih dilihat dari aspek sosio-ekonomi. Mungkin pula pada usia remaja adalah usia yang mengalami perubahan pesat dalam bidang kesehatan fisik dan mental, dan banyak di antara perkembangan tersebut yang kemudian menjadi determinan terhadap kesehatannya di kemudian hari. Dengan makin banyaknya "drug and alcohol abuse" serta perilaku seks yang tidak sehat di kalangan remaja sudah selayaknya jika masalah kesehatan remaja mendapat perhatian penanganan secara khusus.

Sudah diperlukan adanya pelayanan kesehatan remaja secara khusus yang bidang cakupannya bukan hanya bersifat kuratif tetapi juga preventif, promotif dan rehabilitatif yang melibatkan berbagai disiplin. Jika kita berbicara tentang pelayanan khusus maka ia juga mencakup juga pelayanan untuk kesehatan reproduksi. Hingga saat ini mungkin baru FK UNDIP/RS DR KARYADI yang sudah membuka pelayanan kesehatan remaja, tetapi kemudian juga tidak jelas bagaimana perkembangannya. Sementara itu belum ada pihak swasta atau LSM yang berani secara khusus menyediakan pelayanan kesehatan remaja. Pelayanan yang akhir-akhir ini makin ramai hanyalah sebatas pelayanan untuk pecandu narkotik.

Pelayanan kesehatan reproduksi remaja seperti juga pelayanan kesehatan remaja pada umumnya, harus melibatkan berbagai disiplin antara lain sebagai medis, pakar psikologi dan pakar sosiologi atau pendidikan. Pelayanan ini harus bebas dari bias "nilai-nilai moral yang dipaksakan" dan benar-benar ditujukan untuk melepaskan remaja dari masalah kesehatan dirinya. Di bidang kesehatan reproduksi ini berarti juga penyediaan pelayanan untuk pendidikan dan konseling masalah seksualitas, penaganan kehamilan yang tidak diinginkan, penanganan menular penyakit seksual, pelayanan kontrasepsi untuk yang memerlukan, pelayanan terhadap berbagai "abuses" termasuk juga perkosaan. Selain juga konseling dan terapi untuk masalah-masalah kesehatan lainnya. Akan lebih ideal lagi jika pelayanan itu mencakup juga aspek rehabilitasi yang untuk remaja lebih memerlukan rehabilitasi sosial dan mental dari pada rehabilitasi fisik.

TRANSFORMASI SOSIAL DAN PERILAKU REPRODUKSI REMAJA


ABSTRAK
Perkembangan perilaku reproduksi atau perilaku seks remaja dalam suatu masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor sosial. Masuknya kebudayaan yang merubah tata nilai, antara lain disebabkan oleh komunikasi global dan perubahan/inovasi teknologi. Sebaliknya faktor kreativitas internal yang berbentuk perubahan intelektual merupakan faktor penting dalam menentukan perkembangan perilaku reproduksi. Setiap bentuk perilaku memiliki makna tertentu yang ditujukan untuk kebutuhan tertentu. Remaja dapat memiliki variasi perilaku yang ditujukan untuk tujuan hidup yang beragam.
Perilaku reproduksi terwujud dalam hubungan sosial antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita tersebut dalam waktu yang lama menyebabkan munculnya norma-norma dan nilai-nilai yang akan menentukan bagaimana perilaku reproduksi disosialisasikan. Berbagai bentuk perilaku yang diwujudkan lazimnya sejalan dengan norma-norma yang berlaku. Ada perilaku yang diharapkan dan sebaliknya ada perilaku yang tidak diharapkan dalam hubungan sosial masyarakat; begitu pula hubungan antara pria dan wanita dalam perilaku reproduksi. Perilaku reproduksi dalam hal ini adalah mengacu kepada perilaku seks pranikah di kalangan remaja. Perilaku seks remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu. Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada; baik itu di lingkungan keluarga, kelompok sebaya ( peer group ), banjar dan desa. Sedang faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam suatu kelompok yang tidak permisif terhadap perilaku reproduksi sebelum menikah akan menekan anggotanya yang bersifat permisif. Dengan demikian kontrol sosial akan mempengaruhi sikap pemisif terhadap kelompok tersebut.

1. Remaja dan Kesehatan Reproduksi
WHO (1965) mendefinisikan masa remaja merupakan periode perkembangan antara pubertas, perlihan biologis masa anak-anak dan masa dewasa, yaitu antara umur 10-20 tahun. Hasil Sensus (SP) 1990 dan SP 2000 menunjukkan proporsi remaja berusia 10 sampai 24 tahun di Bali sebesar 32,12 persen dan 26,29 persen.
Besarnya proporsi penduduk berusia muda, secara teoritis mempunyai dua makna, Pertama, besarnya penduduk usia muda merupakan modal pembangunan yaitu sebagai faktor produksi tenaga manusia (human resources), apabila merekadapat dimanfaatkan secara tepat dan baik. Memanfaatkan mereka secara tepat dan baik diperlukan beberapa persyaratan. Di antaranya adalah kemampuan keakhlian, kemampuan keterampilan dan kesempatan untuk berkarya. Kedua, apabila persyaratan tersebut tidak dapat dimiliki oleh penduduk usia muda, yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu penduduk usia muda justru menjadi beban pembangunan.
Remaja memiliki dua nilai yaitu nilai harapan (idelisme) dan kemampuan. Apabila kedua nilai tersebut tidak terjadi keselarasan maka akan muncul bentuk-bentuk frustasi. Macam-macam frustasi. Macam-macam frustasi ini pada gilirannya akan merangsang generasi muda untuk melakukan tindakan-tindakan abnormal ( menyimpang).
Dari sudut pandang kesehatan, tindakan menyimpang yang akan mengkhawatirkan adalah masalah yang berkaitan dengan seks bebas ( unprotected sexuality ), penyebaran penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah atau kehamilan yang tidak dikehendaki ( adolecent unwanted pragnancy ) di kalangan remaja. Masalah-masalah yang disebut terakhir ini dapat menimbulkan masalah-masalah sertaan lainnya yaitu aborsi dan pernikahan usia muda. Semua masalah ini oleh WHO disebut sebagai masalah kesehatan reproduksi remaja, yang telah mendapatkan perhatian khusus dari berbagai organisasi internasional .
Dari beberapa penelitian tentang perilaku reproduksi remaja yang telah dilakukan, menunjukkan tingkat permisivitas remaja di Indonesia cukup memprihatinkan. Faturochman (1992) merujuk beberapa penelitian yang hasilnya dianggap mengejutkan, seperti penelitian Eko seorang remaja di Yogyakarta (1983). Penelitian SAHAJA di Medan (1985) dan di Kupang (1987), dan penelitian yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dengan Perguruan Ilmu Kepolisian. Semua penelitian tersebut
menunjukkan bahwa remaja di daerah penelitian yang bersangkutan telah melakukan hubungan seksual.
Penelitian-penelitian tentang kesehatan reproduksi remaja yang pernah dilakukan di Bali memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan penelitian di daerah lainnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Bali di antaranya oleh Faturochman dan Sutjipto (1989), Mahaputera dan Yama Diputera (1993), Tjitarsa (1994), dan Alit Laksmiwati (1999).

2. Transformasi Sosial dan Perilaku Reproduksi Remaja
Perubahan masyarakat Bali mengalami percepatan yang cukup tinggi. Ada dua bentuk perubahan yang amat jelas. Pertama, perubahan struktur dari struktur masyarakat agraris ke struktur masyarakat industri, yaitu industri pariwisata dan industri kerajinan. Kedua, perubahan orientasi dari orientasi lokal dan nasional ke orientasi global. Keterbukaan masyarakat Bali menjadi semakin intensif dengan ikut teradopsinya berbagai budaya baru ( Geriya, 1992).
Perubahan budaya agraris ke budaya iptek tidak selalu membawa hasil yang memuaskan. Seperti yang terjadi di Bali sekarang ini, berbagai masalah timbul sebagai akibat dari perubahan budaya tersebut. Sebagian dari masyarakat Bali telah berubah dari masyarakat tradisonal menjadi masyarakat modern. Perubahan masyarakat ini ditandai dengan pula oleh perubahan bentuk solidaritas mekanik ke solidaritas organik, artinya sifat-sifat kebersamaan cenderung memudar dan mulai muncul sifat individualis. Ciri perubahan ini adalah merosotnya peran sosial agama dan adat dalam mempengaruhi aspek kehidupan yang lainnya.
Sementara itu salah satu ciri masyarakat perkotaan sebagai masyarakat modern adalah adanya perubahan bentuk keluarga dari keluarga luas ( extended family ) menjadi keluarga batih ( nuclear family ). Perubahan bentuk keluarga tersebut juga berakibat adanya perubahan dalam sifat hubungan antara orang tua dengan anak-anak mereka, khususnya anak-anak remaja. Perubahan tersebut adalah dalam arah semakin berkurangnya pengawasan orang tua terhadap anak-anaknya, dan semakin terpisahnya orang tua dan anak-anak mereka ke dalam dua dunia yang berbeda ( Sanderson, 1995).
Perkembangan perilaku reproduksi atau perilaku seks remaja dalam suatu masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor sosial. Masuknya kebudayaan yanh merubah tata nilai, antara lain disebabkan oleh komunikasi global dan perubahan/inovasi teknologi. Sebaliknya faktor kreativitas internal yang berbentuk perubahan intelektual merupakan faktor penting dalam menentukan perkembangan perilaku reproduksi. Setiap bentuk perilaku memiliki makna tertentu yang ditujukan untuk kebutuhan tertentu. Remaja dapat memiliki variasi perilaku yang ditujukan untuk tujuan hidup yang beragam.
Perilaku reproduksi terwujud dalam hubungan sosial antara pria dan wanita. Hubungan antra pria dan wanita tersebut dalam waktu yang lama menyebabkan munculnya norma-norma dan nilai-nilai yang akan menentukan bagaimana perilaku reproduksi disosialisasikan. Berbagai bentuk perilaku yang diwujudkan lazimnya sejalan dengan norma-norma yang berlaku. Ada perilaku yang diharapkan dn sebaliknya ada perilaku yang tidak diharapkan dan sebaliknya ada perilaku yang tidak diharapkan dalam hubungan sosial masyarakat; begitu pula hubungan antara pria dan wanita dalam perilaku reproduksi. Perilaku reproduksi dalam hal ini adalah mengacu kepada perilaku seks pranikah di kalangan remaja. Perilaku seks remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu. Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada; baik itu di lingkungan keluarga, kelompok sebaya ( peer group ), banjar dan desa. Sedang faktor di dam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam suatu kelompok yang tidak permisif terhadap perilaku reproduksi sebelum menikah akan menekan anggotanya yang bersifat permisif. Dengan demikian kontrol sosial akan mempengaruhi sikap pemisif terhadap kelompok tersebut ( Reiss and Miller,1979).
Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja di antaranya adalah faktor keluarga. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak di antara berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan ( Kinnaird dan Gerrard, 1986).
Sehubungan dengan adanya interaksi budaya Bali dengan berbagai budaya lain, dan masukknya informasi melalui berbagai media komunikasi, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku reproduksi di Bali. Pada tulisan ini akan dilihat dari beberapa dimensi, dimensi pengetahuan, dimensi pranata sosial, dan dimensi simbolik.

3. Aspek Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja
Boleh dikatakan bahwa sejak dahulu hubungan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan di Bali relatif bebas. Bebas yang dimaksud adalah tidak ada aturan yang ketat menentukan bahwa setelah mencapai umur tertentu laki-laki dan perempuan harus dipisahkan ke dalam kelompoknya masing-masing dalam melakukan sosialisasi. Anak-anak dan remaja Bali dapat bergaul dengan semua kelompok jenis kelamin. Hal ini dapat dilihat dalam aktivitas Seka Teruna Teruni (STT). Seperti halnya krama banjar setiap aktivitas STT pun selalu melibatkan anggota pria dan wanita.
Saat ini, untuk berbagai kepentingan remaja Bali tidak hanya bergaul dengan kelompok di lingkungan banjar saja. Dengan berbagai fasilitas yang dimilikinya pergaulan remaja sudah semakin luas dan semakin bebas. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi pengetahuan dan wawasan mereka, termasuk dalam bidang kesehatan reproduksi.
Selain melalui teman sumber informasi utama remaja tenang kesehatan reproduksi pada umumnya adalah media massa ( cetak dan elektronik). Paparan informasi seksual melalui media massa tidak begitu banyak memberikan kontribusi positif bagi remaja ( Mohamad, 1990). Tidak jarang informasi yang yang diperoleh hanya berupa alternatif pemecahan masalah bagi mereka yang pernah mempunyai masalah kesehatan reproduksi, seperti konsultasi seksologi di beberapa majalah atau koran.
Rubrik konsultasi seperti tersebut di atas biasanya diikuti oleh mereka yang sudah berumah tangga atau mereka yang berperilaku tidak sehat. Sementara informasi yang sifatnya mendidik, yang mampu meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja, sehingga mereka terhindar dari perilaku tidak sehat kurang memadai. Keadaan pengetahuan seperti ini menjadi faktor penting yang menyebabkan mereka semakin permisif melakukan hubungan seks pranikah. Masalah yang paling ditakuti oleh remaja yang melakukan hubungan seks pranikah adalah apabila sampai terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD).
Di satu sisi, dengan semakin mudah mereka mengakses informasi melalui berbagai media massa, maka ketakutan menghadapi KTD semakin berkurang. Di sisi lain, melalui sumber informasi yang sama juga dapat mencegah remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah. Hal ini dapat terjadi bila mereka memahami dan menyadari akibat-akibat dari perilaku tersebut.
Terjadi atau tidak terjadi perilaku seks pranikah sangat tergantung pada wawasan mereka tentang perilaku tersebut. Remaja mampu mempunyai wawasan dan berkepribadian yang mantap sangan dipengaruhi oleh pola asuh atau cara pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Anak yang dididik dengan cara yang baik akan melahirkan remaja dengan moral yang baik pula ( Djamaludin Ancok dalam Faturochman, 1992).
Bagi seorang individu moral merupakan landasan dalam perilaku. Tinggi rendahnya orientasi moral seseorang berpengaruh terhadap perilakunya, termasuk perilaku seksnya. Berperilaku seks yang tidak sesuai dengan moral akan menimbulkan perasaan bersalah pada diri si pelaku. Usaha menghindarkan diri dari perasaan bersalah dilakukan dengan dua cara yaitu tidak melakukan seks pranikah atau tidak meneruskan melakukan perilaku tersebut bila sudah pernah melakukannya ( Faturochaman, 1992).

4. Aspek Pranata Sosial dalam Perilaku Reproduksi Remaja
Sebagai suatu komunitas, desa adat di Bali mempunyai beberapa peranan. Salah satu di antaranya adalah menyelesaikan sengketa atau konflik yang menunjukkan adanya warga masyarakat yang melakukan tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan dan perbuatan tersebut mengganggu masyarakat secara keseluruhan. Konflikadat dapat bersifat kriminal,pencurian benda pusaka atau delik kesusilaan. Aturan tentang penyelesaian masalah-masalah tersebut termuat dalam awig-awig desa adat masing-masing, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis
Dalam adat Bali ada anggapan bahwa perilaku reproduksi yang tidak sehat atau delik kesusilaan menimbulkan akibat leteh kepada lingkungannya dan sebel kepada pelakunya. Leteh atau sebel secara simbolik berarti “kotor”. Menurut I Gusti Ketut Kaler (1982) ada 12 macam peristiwa atau keadaan yangn menimbulkan keletehan atau kesebelan. Beberapa di antaranya adalah berkaitan dengan perilaku tidak sehat, seperti lokika
sanggraha (hubungan seks yang dilakukan bukan dengan istri atau suami), memitra ngalang (hidup serumah tanpa menikah atau kumpul kebo), gamia gemana ( melakukan incest), kehamilan dan kelahiran di luar perkawinan, serta keguguran atau menggugurkan kandungan.
Perilaku hubungan seks pranikah merupakan salah satu delik kesusilaan yang dapat mengganggu atau menimbulkan ketegangan dalam wilayah desa adat. Bila terjadi pelanggaran dan perbuatan tersebut dilaporkan oleh krama banjar, maka orang yang melakukan pelanggaran berkewajiban melakukan upacara parayascita gumi ( upacara pembersihan untuk dirinya sendiri dan juga untuk desa).
Belakang ini kasus pelanggaran delik kesusilaan sering tidak dijatuhi sanksi adat, sehingga di kalangan masyarakat khususnya remaja ada anggapan perilaku reproduksi tidak sehat seperti hubungan seks pranikah, kumpul kebo, kehamilan di luar nikah, aborsi sebagai perilaku reproduksi yang biasa dan wajar. Sementara itu, krama adat tidak melaporkan kasus-kasus seperti itu, karena mereka menganggap masalah tersebut sebagai masalah pribadi, bukan lagi sebagai masalah bersama yang dapat menggangu keharmonisan desa adat. Ini menunjukkan bahwa solidaritas masyarakat telah mengalami pergeseran.
Di samping itu, meningkatnya kasus perilaku reproduksi di kalangan remaja, karena mereka tidak mengerti kalau perilaku tersebut merupakan perilaku yang melanggar norma adat. Hal ini terjadi karena sosialisasi tentang norma atau awig-awig yang berkaitan dengan maslah perilaku reproduksi sangant kurang.
Ketika jenis hiburan masih terbatas, seni pertunjukan tradisional berfungsi sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan berbagai macam informasi yangberkaitan dengan masalah adat dan agama, serta berbagai program pemerintah. Dengan berkembangnya berbagai aneka pilihan hiburan maka efektivitas media tradisional menjadi berkurang.
Salah sau faktor penting yang juga berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja adalah pergeseran bentuk rumah tangga (household) di Bali. Untuk alasan-alasan tertentu sekarang banyak rumah tangga yang hanya terdiri dari satu keluarga batih ( nuclear family) saja. Banyak keluarga-keluarga baru yang membuat rumah terpisah dari keluarga luasnya. Misalnya dengan alasan agar lebihdengan dari tempat bekerja.
Kecenderungan seperti ini banyak ditemukan di daerah perkotaan. Keadaan tersebut adalah salah satu faktor yang mungkin menyebabkan remaja mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan seks pranikah di rumah mereka sendiri.
Peranan anggota keluarga lain seperti paman, bibi, kakek, nenek, saudara sepupu dan sebagainya dalam suatu keluarga, tidak hanyadapat menjadi tempat mengadu bagi anak-anak bermasalah, tetapi juga dapat menjadi pengawas dalam suatu keluarga. Keberadaan mereka dapat mengontrol perilaku remaja. Dengan kata lain remaja yang tinggal dalam keluarga batih mempunyai peluang yang lebih tinggi untuk melakukan hubungan seks pranikah, terlebih bila kedua orang tuanya berkerja.

5. Aspek Simbolik Perilaku Reproduksi Remaja
Salah satu unsur penting dalam proses transformasi sosial adalah pergantian atau perubahan. Sesustu telah mengalami proses transformasi dapat dilihat melalui perbedaan wujud dari yang mengalami transformasi.
Ketika teknologi di bidang komunikasi dan informasi belum begitu maju, sarana hiburan dalam masyarakat bali bersumber pada seni tradisional seperti wayang, topeng, arja, drama gong dan sebagainya. Selain sebagai sarana hiburan, kesenian tersebut juga berfungsi sebagai alat komunikasi untuk mensosialisasikan norma-norma dan falsafah hidup masyarakat. Tetapi setelah teknologi di bidang media informasi semakin memasyarakat, jenis-jenis hiburan tersebut mulai diganti dengan oleh jenis hiburan lainnya yang dikemas dalam bentuk film layar lebar atau layar kaca, atau dalam bentuk alat elektronik lainnya. Oleh banyak kalangan sarana hiburan film, baik yang ditonton di bioskop maupun yang ditayangkan televisi disinyalir sebagai salah satu faktor yang mendorong perilaku reproduksi tidak sehat di kalangan remaja, selain gambar dan film porno.
Dalam rangka pembangunan Bali sebagai daerah tujuan wisata, pengembangan wilayah di ini dibedakan sesuai potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Sehubungan dengan hal tersebut daerah wisata dibedakan atas tiga tipe, yaitu daerah kunjungan wisata, daerah domisili, dan daerah penunjang wisata.
Agar pembangunan pariwisata di Bali dapat berkembang secara optimal, maka harus dibangun berbagai fasilitas yang diperlukan seperti hotel, restoran, diskotik, bar, pub,
bungalow dan sebagainya. Dari segi ekonomi berkembangnya industri pariwisata di Bali memang memberikan keuntungan yang tidak sedikit. Namun demikian tidak dapat dihindari dampak negatif yang disebabkan oleh berkembangnya industri pariwisata tersebut. Tempat-tempat wisata yang ada di Bali tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan asing dan domestik, tetapi juga menjadi salah satu pilihan untuk mendapatkan hiburan.
Sebagai daerah tujuan wisata Kuta dan Legian adalah daerah wisata yang banyak diminati oleh remaja Bali. Di daerah ini terdapat area remaja yang menunjukkan keterkaitan dengan permasalahan kesehatan reproduksi ( seksual) di kalangan remaja. Area tertentu yang diminati remajaadalah sepanjang Pantai Kuta dan Legian, pertokoan, dan tempat hiburan ( diskotik, karaoke, bar, pub, dan cafe). Pusat pertokoan seperti Matahari dan McDonal di Kuta merupakan alternatif baru yang dipilih ABG ( remaja ) sebagai tempat “nongkrong”. Selain itu pusat pertokoan juga merupakan tempat yang menjadi pilihan remaja untuk berkumpul, mencari kemungkinan mendapatkan pasangan, tempat berjanji bertemu pasangan, atau kemungkinan untuk melakukan transaksi naza atau obat terlarang ( PKBI, 1995). Bagi remaja yang telah biasa melakukan hubungan seks, bubgalow adalah salah satu alternatif tempat untuk melakukannya, khususnya bagi mereka yang biasa melakukan dengan “perek” ( Alit Laksmiwati, 1999).
Konskwensi pembangunan pariwisata ternyata memang tidak dapat dihindari akan menimbulkan dampak negatif bagi daerah di mana industri pariwisata dikembangkan. Di samping meningkatkan devisa negara dan menciptakan kesempatan kerja, industripariwisata juga memacu berkembangnya sektor jasa, termasuk di dalamnya bisnis seks ( seks komersial ).
Walaupun pemerintah daerah sampai saat ini tidak mengijinkan adanya tempat pelacuran resmi ( lokalisasi ), tetapi kenyataannya di Bali ada beberapa tempat yang dikenal secara umum sebagai kompleks pelacuran. Remaja adalah salah satu konsumen yang menikmati bisnis seks ini.
Untuk melihat terjadinya proses transformasi sosial dalam suatu masyarakat tidak hanya dapatdilihat dari segi materi, tetapi juga dari segi perilaku. Adanya perilaku yang dianggap menyimpang menunjukkan bahwa ada perbedaan bentuk perilaku dari perilaku yang dianggap ideal atau dianggap benar dalam masyarakat tersebut. Dalam masalah kesehatan reproduksiperilaku yang dianggap ideal adalah perilaku yang tidak
bertentangan dengan norma adat dan norma agama, karena perilaku seks hanya dapat dibenarkan bila telah memasuki lembaga perkawinan.
Pada masyarakat ada beberapa perilaku reproduksi yangkalaudilanggar akan menjadi delik adat, di antaranya adalah melakukan seks pranikah dan aborsi. Bila terjadi pelanggaran maka sanksi adat seharusnya dijatuhkan kepada pelaku. Tetapi tampaknya dewasa ini pemberian sanksi seperti di atas tidak lagi dilakukan, sehingga semakin banyak yang berani melakukan pelanggaran adat, termasuk para remaja. Perilaku seks pranikah dianggap perilaku yang sudah lumrah.
Adanya anggapan bahwa hubungan seks pranikah adalah sesuatu yang biasa,menunjukkan masyarakat telah semakin permisif terhadap hubungan seks pranikah. Kalau masyarakat semakin permisif terhadap perilaku seks pranikah, semsntara keterlibatan lembaga adat semakin melemah, maka kemungkinan masyarakat juga akan permisif terhadap aborsi sebagai salah satu alternatf pemecahan masalah bawaan yang disebabkan oleh perilaku seks pranikah. Angka yang menunjukkan remaja yang melakukan aborsi di Bali relatif tinggi ( Tjitarsa, 1995).
Kelahiran anak dari hubungan tanpa ikatan perkawinan oleh adat dianggap sebagai salah satu pelanggaran hukum adat. Anak-anak yang terlahir tanpa melalui lembagaperkawinan sepanjanghidupnya akan menyandang sebutan sebagai panak bebinjat (anak haram).Terhadap anak tersebut harus dilakukan beberapa upacara pembersihan, sehingga anak tersebut dan lingkungannya terhindar dari keletehan (Windia, 1994).
Ketika lembaga adat masik diterapkan secara konskwen, anak yang terlahir dari kehamilan yang terjadi sebelum perkawinan pada golongan tri wangsa disebut astra. Mereka tidak berhak menyandang gelar wangsa yang dimiliki oleh orang tuanya (Steadfield, 1986). Tetapi sekarang sebutan astra sangat jarang dipakai untuk mereka yang lahir dari kehamilan pranikah. Begitu pula bila kehamilan pranikah terjadi di antara mereka yang wangsa-nya sama, maka sebelum melaukan upacara perkawinan terlebih dahulu dilakukan upacara madewa saksi, yaitu pihak pria bersumpah kehadapan Tuhan dan leluhur bahwa kehamilan yang terjadi memang disebabkan oleh pria yang bersangkutan.