Minggu, 04 April 2010

Kampanye Pacaran Sehat ‘steLOVEscope’


Remaja sebagai periode dari kehidupan manusia merupakan suatu konsep yang relatif baru dalam kajian psikologi. Istilah remaja dikenal dengan istilah “adolesence”, berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Untuk merumuskan sebuah definisi yang memadai tentang remaja tidaklah mudah, sebab rentang waktu yang dibutuhkan remaja untuk menjadi dewasa tidak dapat ditetapkan secara pasti. Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan menetapkan definisi remaja secara umum. Namun BKKBN pada salah satu surveynya yang mengkatagorikan remaja pada rentang usia 10-19 tahun, mendata jumlahnya di Indonesia sekitar 22% atau sekitar 44 juta jiwa. Artinya satu dari lima penduduk Indonesia berusia remaja. Selain itu istilah “akil balig” atau pubertas adalah sebutan yang seringkali digunakan di Indonesia untuk mengidentifikasikan masa remaja.
Perubahan fisik saat pubertas tentu saja akan diiringi oleh perubahan psikis terhadap perannya sebagai individu maupun sosial. Remaja akan sangat termotivasi untuk berhasil melalui perkembangan identitas pribadi dan keintiman dengan manusia lain. Dua individu yang saling tertarik pada umumnya akan melanjutkan hubungan mereka dengan status yang populer disebut pacaran. Menurut Yahya Ma’shum dan Chatarina Wahyurini dalam Kompas Cyber Media (11 April 2004) mendefinisikan bahwa Pacaran merupakan “proses sayang-sayangan dua manusia lawan jenis itu merupakan kegiatan mengenal dan memahami lawan jenisnya dan belajar membina hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan permasalahan pada saat sudah menikah. Masing-masing berusaha mengenal kebiasaan, karakter atau sifat, serta reaksi-reaksi terhadap berbagai masalah maupun peristiwa.” Sedangkan Samsunuwiyati (2005:222) menjelaskan bahwa aktivitas berpacaran, berkencan, bercumbu, sampai melakukan kontak seksual merupakan upaya remaja mengekspresikan dorongan seksualnya untuk melepaskan diri dari ketegangan seksual.
Proses pacaran tersebut memungkinkan terjadinya penemuan jati diri sendiri sekaligus kehilangan batas-batas diri sendiri terhadap pasangan. Namun sebaliknya, jika proses pacaran bila tidak berhasil disikapi dengan baik akan membentuk sikap-sikap negatif dan berbagai keputusan yang salah dan berbahaya bagi perkembangan jiwa dan masa depan remaja. Hasil survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, BPS, 2004) menunjukkan bahwa remaja yang setuju melakukan hubungan seks jika akan menikah mencapai 16,2%, saling mencintai sebanyak 12,0%, dan suka sama suka 12,3%. Meskipun jumlahnya tidak terlalu besar, namun sikap permisif ini bisa menjadi faktor pendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pra-nikah. Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN, Lalu Sudarmadi mengungkapkan, sekitar 40 sampai 45 persen remaja Indonesia melakukan hubungan seks sebelum nikah (Gatra.com, 5 Juli 2007).
Hubungan seks di luar nikah merupakan titik ekstrim yang selama ini dinilai masyarakat sebagai bentuk penyimpangan kelakuan pada pasangan remaja. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (Dosen Fakultas Psikologi UI) memaparkan bahwa kebanyakan hubungan seks antar remaja di Indonesia terjadi setelah hubungan mereka berjalan kira-kira enam bulan. Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya hubungan seks tersebut disebabkan karena kebutuhan suasana hati yang tepat, khususnya untuk remaja puteri. Harus timbul perasaan cinta, suka, percaya, menyerah dan sebagainya terhadap pasangannya terlebih dahulu. Jika sudah terlena oleh sikap pacarnya, remaja puteri dapat kehilangan kontrol diri. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan pada empat pelaku pacaran tidak sehat, khususnya seks bebas.
Sebenarnya pacaran sehat tidak hanya diukur secara seksual, namun juga dari segi fisik, emosional dan sosial. Tapi masalah pacaran dalam hal tersebut kebanyakan kurang disadari. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan pada tiga narasumber yang tidak menyadari hubungan mereka cenderung tidak sehat karena semata-mata mereka mengaku tidak melakukan seks bebas.
Fenomena pacaran tidak sehat ini semakin marak terjadi karena globalisasi informasi menjadi media pertukaran nilai-nilai dari berbagai tempat di dunia. Termasuk kebiasaan dan batas-batas dalam menjalin hubungan dengan pacar yang tidak sesuai dengan budaya timur. Sedangkan informasi yang menuturkan norma dan nilai-nilai yang harus tetap dijunjung ketika remaja berpacaran masih sangat minim. Karena itu, diperlukan suatu media informasi yang dapat digunakan sebagai alat sosialisasi tata cara pacaran yang sehat kepada remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar