Minggu, 04 April 2010

Kampanye Pacaran Sehat ‘steLOVEscope’


Remaja sebagai periode dari kehidupan manusia merupakan suatu konsep yang relatif baru dalam kajian psikologi. Istilah remaja dikenal dengan istilah “adolesence”, berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Untuk merumuskan sebuah definisi yang memadai tentang remaja tidaklah mudah, sebab rentang waktu yang dibutuhkan remaja untuk menjadi dewasa tidak dapat ditetapkan secara pasti. Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan menetapkan definisi remaja secara umum. Namun BKKBN pada salah satu surveynya yang mengkatagorikan remaja pada rentang usia 10-19 tahun, mendata jumlahnya di Indonesia sekitar 22% atau sekitar 44 juta jiwa. Artinya satu dari lima penduduk Indonesia berusia remaja. Selain itu istilah “akil balig” atau pubertas adalah sebutan yang seringkali digunakan di Indonesia untuk mengidentifikasikan masa remaja.
Perubahan fisik saat pubertas tentu saja akan diiringi oleh perubahan psikis terhadap perannya sebagai individu maupun sosial. Remaja akan sangat termotivasi untuk berhasil melalui perkembangan identitas pribadi dan keintiman dengan manusia lain. Dua individu yang saling tertarik pada umumnya akan melanjutkan hubungan mereka dengan status yang populer disebut pacaran. Menurut Yahya Ma’shum dan Chatarina Wahyurini dalam Kompas Cyber Media (11 April 2004) mendefinisikan bahwa Pacaran merupakan “proses sayang-sayangan dua manusia lawan jenis itu merupakan kegiatan mengenal dan memahami lawan jenisnya dan belajar membina hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan permasalahan pada saat sudah menikah. Masing-masing berusaha mengenal kebiasaan, karakter atau sifat, serta reaksi-reaksi terhadap berbagai masalah maupun peristiwa.” Sedangkan Samsunuwiyati (2005:222) menjelaskan bahwa aktivitas berpacaran, berkencan, bercumbu, sampai melakukan kontak seksual merupakan upaya remaja mengekspresikan dorongan seksualnya untuk melepaskan diri dari ketegangan seksual.
Proses pacaran tersebut memungkinkan terjadinya penemuan jati diri sendiri sekaligus kehilangan batas-batas diri sendiri terhadap pasangan. Namun sebaliknya, jika proses pacaran bila tidak berhasil disikapi dengan baik akan membentuk sikap-sikap negatif dan berbagai keputusan yang salah dan berbahaya bagi perkembangan jiwa dan masa depan remaja. Hasil survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, BPS, 2004) menunjukkan bahwa remaja yang setuju melakukan hubungan seks jika akan menikah mencapai 16,2%, saling mencintai sebanyak 12,0%, dan suka sama suka 12,3%. Meskipun jumlahnya tidak terlalu besar, namun sikap permisif ini bisa menjadi faktor pendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pra-nikah. Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN, Lalu Sudarmadi mengungkapkan, sekitar 40 sampai 45 persen remaja Indonesia melakukan hubungan seks sebelum nikah (Gatra.com, 5 Juli 2007).
Hubungan seks di luar nikah merupakan titik ekstrim yang selama ini dinilai masyarakat sebagai bentuk penyimpangan kelakuan pada pasangan remaja. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (Dosen Fakultas Psikologi UI) memaparkan bahwa kebanyakan hubungan seks antar remaja di Indonesia terjadi setelah hubungan mereka berjalan kira-kira enam bulan. Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya hubungan seks tersebut disebabkan karena kebutuhan suasana hati yang tepat, khususnya untuk remaja puteri. Harus timbul perasaan cinta, suka, percaya, menyerah dan sebagainya terhadap pasangannya terlebih dahulu. Jika sudah terlena oleh sikap pacarnya, remaja puteri dapat kehilangan kontrol diri. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan pada empat pelaku pacaran tidak sehat, khususnya seks bebas.
Sebenarnya pacaran sehat tidak hanya diukur secara seksual, namun juga dari segi fisik, emosional dan sosial. Tapi masalah pacaran dalam hal tersebut kebanyakan kurang disadari. Hal ini didukung oleh hasil wawancara yang telah dilakukan pada tiga narasumber yang tidak menyadari hubungan mereka cenderung tidak sehat karena semata-mata mereka mengaku tidak melakukan seks bebas.
Fenomena pacaran tidak sehat ini semakin marak terjadi karena globalisasi informasi menjadi media pertukaran nilai-nilai dari berbagai tempat di dunia. Termasuk kebiasaan dan batas-batas dalam menjalin hubungan dengan pacar yang tidak sesuai dengan budaya timur. Sedangkan informasi yang menuturkan norma dan nilai-nilai yang harus tetap dijunjung ketika remaja berpacaran masih sangat minim. Karena itu, diperlukan suatu media informasi yang dapat digunakan sebagai alat sosialisasi tata cara pacaran yang sehat kepada remaja.

Tinjauan Umum Kesehatan Reproduksi Remaja

Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) ter-masuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual (FCI, 2000).

Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja Sangat Penting?

Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.

Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah (Kiragu, 1995:10, dikutip dari Iskandar, 1997).

Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran (Iskandar, 1997). Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena
kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.

Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), ke-kerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.

Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di pedesaan, haid
pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka pada risiko kehamilan dan persalinan dini (Hanum, 1997:2-3).

Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat
ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak (child physical abuse).

Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah (Iskandar, 1997).

Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh (O’Keefe, 1997: 368-376).

Remaja yang tidak mempu-nyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan (Kipke et al., 1997:360-367). Para remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk penyalahgunaan obat, minuman
beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi (Iskandar, 1997).

Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Remaja

Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal (Pachauri, 1997).

Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual (Iskandar, 1997).

Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan reproduksi para remaja (Iskandar, 1997).

Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada, pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja (Outlook, 2000).

Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan confidentiality (Senderowitz, 1997a:10). Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi pada klien.

Kesehatan Reproduksi Remaja Masih Terabaikan


Kendati kesehatan reproduksi remaja di Indonesia telah memperoleh komitmen politik dari pemerintah dan parlemen, serta telah menjadi program nasional sejak tahun 2000, namun pengetahuan dan pengalaman para pengelola program ini masih rendah. Padahal, jika tidak ditangani dengan baik, kesehatan reproduksi remaja dapat menjadi masalah amat serius, karena tahun 2000 lalu kaum remaja telah menjadi kelompok populasi terbesar dalam piramida penduduk Indonesia.

Pendapat ini dikemukakan Dr Eddy Hasmi, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam Konferensi Internasional “Kaum Muda Asia dalam Risiko : Tantangan Sosial, Kesehatan dan Kebijaksanaan” di Taipei, Taiwan, Selasa (27/11). Konferensi yang disponsori oleh East-West Center, Hawaii, ini berlangsung hingga 29 November, dibuka oleh Menteri Kesehatan Taiwan Dr Lee Ming-liang.

“Secara nasional program kesehatan reproduksi remaja memang baru satu tahun berjalan, karenanya masih banyak kelemahan di lapangan. Kelemahan utama adalah pada sumber daya manusia untuk mengimplementasikan program ini,” kata Eddy Hasmi. Demikian dilaporkan wartawan kompas Irwan Julianto, dari Taipei.

Dikatakan, di tingkat nasional telah dibentuk Komisi Kesehatan Reproduksi untuk mengkoordinasi program seperti kesehatan reproduksi remaja, melibatkan lima departemen/lembaga, yaitu Departemen Kesehatan, BKKBN, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Departemen Sosial, serta LSM. Idealnya, komisi seperti ini dibentuk hingga ke tingkat kabupaten untk mnghindari tumpah tindih program. Menurut Eddy Hasmi, rencana ini masih jauh dari tercapai.

Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 47 juta orang remaja (10-19 tahun) atau 23 persen dari seluruh penduduk, lebih besar dibanding kelompok bayi dan anak-anak, dewasa, serta lanjut usia. Dr Peter Xenos dari East-West Center menyebut boom kaum remaja ini sebagai youth bulge yang ditandai dengan aneka masalah perilaku pengambilan risiko (risk taking behavior) seperi seks premarital, kehamilan remaja, dan penggunaan produk yang membahayakan kesehatan, seperti rokok, alkohol, dan narkotika/psikotropika.

Menurut Eddy Hasmi, saat ini belum ada hukum yang jelas untuk remaja, sementara peraturan yang ada justru belum sensitif terhadap masalah kesehatan reproduksi remaja. “Contoh yang paling jelas adalah jika ada siswa SLTP/A hamil, ia biasanya dikeluarkan dari sekolah. Begitu pula dengan penggunaan narkotika. Tidak ada peraturan pemerintah yang mengatur masalah ini, yang ada adalah kebijakan setiap sekolah,” katanya.

Untuk implementasi program kesehatan reproduksi remaja di Indonesia, direncanakan program penjangkauan dan yang berbasis klinik, serta pemberdayaan masyarakat dan kelompok untuk melakukan melakukan rujukan jika ada remaja yang mengalami masalah. Sayangnya, fasilitas kesehatan yang “ramah terhadap remaja” (adolescent friendly) masih amat terbatas jumlahnya, dan sebagian besar dikelola oleh LSM seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Padahal, ini adalah salah satu faktor kunci suksesnya program kesehatan remaja, selain program harus berorientasi pasar, yaitu berbicara dalam bahasa remaja dan harus mampu membangun kapasitas mereka.

Sumber : Kompas, Kamis, 29 November 2001

Masalah di Sekitar kesehatan Reproduksi Remaja di Indonesia
DR. Kartono Mohamad
LOKAKARYA STRATEGIS NASIONAL KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

Jakarta-Jawa Barat/Cipayung Tanggal, 19-21 Juli 2000


Masalah kesehatan reproduksi remaja di Indonesia kurang mendapat perhatian yang cukup. Ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi:

1. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa masalah kesehatan reproduksi, seperti juga masalah kesehatan lainnya, semata-mata menjadi urusan kalangan medis, sementara pemahaman terhadap kesehatan reproduksi (apalagi kesehatan reproduksi remaja) di kalangan medis sendiri juga masih minimal. Meskipun sejak konperensi Kairo definisi mengenai kesehatan reproduksi sudah semakin jelas, diseminasi pengertian tersebut di kalangan medis dan mahasiswa kedokteran agaknya belum memadai.

2. Banyak kalangan yang beranggapan bahwa masalah kesehatan reproduksi hanyalah masalah kesehatan sebatas sekitar poses kehamilan dan melahirkan, sehingga dianggap bukan masalah kaum remaja. Apalagi jika pengertian remaja adalah sebatas mereka yang belum menikah. Di sini sering terjadi ketidak konsistensian di antara para pakar sendiri karena di satu sisi mereka menggunakan istilah remaja dengan batasan usia, tetapi di sisi lain dalam pembicaraan selanjutnya mereka hanya membatasi pada mereka yang belum menikah.

3. Banyak yang masih mentabukan untuk membahas masalah kesehatan reproduksi remaja karena membahas masalah tersebut juga akan juga berarti membahas masalah hubungan seks dan pendidikan seks.

Definisi Kairo 1994 sudah secara tegas menyebutkan bahwa kesehatan reproduksi tidak hanya menyangkut masalah kehamilan dan persalinan, tetapi juga kesehatan dari organ-organ tubuh yang lain yang akan menjamin bahwa seseorang akan dapat melakukan fungsi reproduksinya secara sehat. Oleh karena itu masalah pertumbuhan tulang, khususnya tulang pinggul pada kaum perempuan, masalah anemia, masalah pertumbuhan endokrin, dan masalah penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi fungsi reproduksi tercakup dalam definisi kesehatan reproduksi tersebut. Banyak di antara faktor-faktor tersebut yang perkembanganya dipengaruhi oleh masalah-masalah kesehatan sewaktu masih remaja, bahkan semasa pra remaja.

Pelayanan yang Diperlukan.
Secara tradisional pelayanan kesehatan khususnya hanya ada jika bidang tersebut sudah dianggap sebagai cabang spesialis tersendiri. Sampai saat ini masalah kesehatan remaja belum menjadi cabang spesialis tersendiri di dunia kedokteran sehingga pelayanan khusus untuk kesehatan remaja (adolescent health) juga belum ada. Mungkin karena definisi remaja (adolesen) baru mulai di abad kedua puluh, dan itu pun pada mulanya lebih dilihat dari aspek sosio-ekonomi. Mungkin pula pada usia remaja adalah usia yang mengalami perubahan pesat dalam bidang kesehatan fisik dan mental, dan banyak di antara perkembangan tersebut yang kemudian menjadi determinan terhadap kesehatannya di kemudian hari. Dengan makin banyaknya "drug and alcohol abuse" serta perilaku seks yang tidak sehat di kalangan remaja sudah selayaknya jika masalah kesehatan remaja mendapat perhatian penanganan secara khusus.

Sudah diperlukan adanya pelayanan kesehatan remaja secara khusus yang bidang cakupannya bukan hanya bersifat kuratif tetapi juga preventif, promotif dan rehabilitatif yang melibatkan berbagai disiplin. Jika kita berbicara tentang pelayanan khusus maka ia juga mencakup juga pelayanan untuk kesehatan reproduksi. Hingga saat ini mungkin baru FK UNDIP/RS DR KARYADI yang sudah membuka pelayanan kesehatan remaja, tetapi kemudian juga tidak jelas bagaimana perkembangannya. Sementara itu belum ada pihak swasta atau LSM yang berani secara khusus menyediakan pelayanan kesehatan remaja. Pelayanan yang akhir-akhir ini makin ramai hanyalah sebatas pelayanan untuk pecandu narkotik.

Pelayanan kesehatan reproduksi remaja seperti juga pelayanan kesehatan remaja pada umumnya, harus melibatkan berbagai disiplin antara lain sebagai medis, pakar psikologi dan pakar sosiologi atau pendidikan. Pelayanan ini harus bebas dari bias "nilai-nilai moral yang dipaksakan" dan benar-benar ditujukan untuk melepaskan remaja dari masalah kesehatan dirinya. Di bidang kesehatan reproduksi ini berarti juga penyediaan pelayanan untuk pendidikan dan konseling masalah seksualitas, penaganan kehamilan yang tidak diinginkan, penanganan menular penyakit seksual, pelayanan kontrasepsi untuk yang memerlukan, pelayanan terhadap berbagai "abuses" termasuk juga perkosaan. Selain juga konseling dan terapi untuk masalah-masalah kesehatan lainnya. Akan lebih ideal lagi jika pelayanan itu mencakup juga aspek rehabilitasi yang untuk remaja lebih memerlukan rehabilitasi sosial dan mental dari pada rehabilitasi fisik.

TRANSFORMASI SOSIAL DAN PERILAKU REPRODUKSI REMAJA


ABSTRAK
Perkembangan perilaku reproduksi atau perilaku seks remaja dalam suatu masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor sosial. Masuknya kebudayaan yang merubah tata nilai, antara lain disebabkan oleh komunikasi global dan perubahan/inovasi teknologi. Sebaliknya faktor kreativitas internal yang berbentuk perubahan intelektual merupakan faktor penting dalam menentukan perkembangan perilaku reproduksi. Setiap bentuk perilaku memiliki makna tertentu yang ditujukan untuk kebutuhan tertentu. Remaja dapat memiliki variasi perilaku yang ditujukan untuk tujuan hidup yang beragam.
Perilaku reproduksi terwujud dalam hubungan sosial antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita tersebut dalam waktu yang lama menyebabkan munculnya norma-norma dan nilai-nilai yang akan menentukan bagaimana perilaku reproduksi disosialisasikan. Berbagai bentuk perilaku yang diwujudkan lazimnya sejalan dengan norma-norma yang berlaku. Ada perilaku yang diharapkan dan sebaliknya ada perilaku yang tidak diharapkan dalam hubungan sosial masyarakat; begitu pula hubungan antara pria dan wanita dalam perilaku reproduksi. Perilaku reproduksi dalam hal ini adalah mengacu kepada perilaku seks pranikah di kalangan remaja. Perilaku seks remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu. Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada; baik itu di lingkungan keluarga, kelompok sebaya ( peer group ), banjar dan desa. Sedang faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam suatu kelompok yang tidak permisif terhadap perilaku reproduksi sebelum menikah akan menekan anggotanya yang bersifat permisif. Dengan demikian kontrol sosial akan mempengaruhi sikap pemisif terhadap kelompok tersebut.

1. Remaja dan Kesehatan Reproduksi
WHO (1965) mendefinisikan masa remaja merupakan periode perkembangan antara pubertas, perlihan biologis masa anak-anak dan masa dewasa, yaitu antara umur 10-20 tahun. Hasil Sensus (SP) 1990 dan SP 2000 menunjukkan proporsi remaja berusia 10 sampai 24 tahun di Bali sebesar 32,12 persen dan 26,29 persen.
Besarnya proporsi penduduk berusia muda, secara teoritis mempunyai dua makna, Pertama, besarnya penduduk usia muda merupakan modal pembangunan yaitu sebagai faktor produksi tenaga manusia (human resources), apabila merekadapat dimanfaatkan secara tepat dan baik. Memanfaatkan mereka secara tepat dan baik diperlukan beberapa persyaratan. Di antaranya adalah kemampuan keakhlian, kemampuan keterampilan dan kesempatan untuk berkarya. Kedua, apabila persyaratan tersebut tidak dapat dimiliki oleh penduduk usia muda, yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu penduduk usia muda justru menjadi beban pembangunan.
Remaja memiliki dua nilai yaitu nilai harapan (idelisme) dan kemampuan. Apabila kedua nilai tersebut tidak terjadi keselarasan maka akan muncul bentuk-bentuk frustasi. Macam-macam frustasi. Macam-macam frustasi ini pada gilirannya akan merangsang generasi muda untuk melakukan tindakan-tindakan abnormal ( menyimpang).
Dari sudut pandang kesehatan, tindakan menyimpang yang akan mengkhawatirkan adalah masalah yang berkaitan dengan seks bebas ( unprotected sexuality ), penyebaran penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah atau kehamilan yang tidak dikehendaki ( adolecent unwanted pragnancy ) di kalangan remaja. Masalah-masalah yang disebut terakhir ini dapat menimbulkan masalah-masalah sertaan lainnya yaitu aborsi dan pernikahan usia muda. Semua masalah ini oleh WHO disebut sebagai masalah kesehatan reproduksi remaja, yang telah mendapatkan perhatian khusus dari berbagai organisasi internasional .
Dari beberapa penelitian tentang perilaku reproduksi remaja yang telah dilakukan, menunjukkan tingkat permisivitas remaja di Indonesia cukup memprihatinkan. Faturochman (1992) merujuk beberapa penelitian yang hasilnya dianggap mengejutkan, seperti penelitian Eko seorang remaja di Yogyakarta (1983). Penelitian SAHAJA di Medan (1985) dan di Kupang (1987), dan penelitian yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dengan Perguruan Ilmu Kepolisian. Semua penelitian tersebut
menunjukkan bahwa remaja di daerah penelitian yang bersangkutan telah melakukan hubungan seksual.
Penelitian-penelitian tentang kesehatan reproduksi remaja yang pernah dilakukan di Bali memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan penelitian di daerah lainnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Bali di antaranya oleh Faturochman dan Sutjipto (1989), Mahaputera dan Yama Diputera (1993), Tjitarsa (1994), dan Alit Laksmiwati (1999).

2. Transformasi Sosial dan Perilaku Reproduksi Remaja
Perubahan masyarakat Bali mengalami percepatan yang cukup tinggi. Ada dua bentuk perubahan yang amat jelas. Pertama, perubahan struktur dari struktur masyarakat agraris ke struktur masyarakat industri, yaitu industri pariwisata dan industri kerajinan. Kedua, perubahan orientasi dari orientasi lokal dan nasional ke orientasi global. Keterbukaan masyarakat Bali menjadi semakin intensif dengan ikut teradopsinya berbagai budaya baru ( Geriya, 1992).
Perubahan budaya agraris ke budaya iptek tidak selalu membawa hasil yang memuaskan. Seperti yang terjadi di Bali sekarang ini, berbagai masalah timbul sebagai akibat dari perubahan budaya tersebut. Sebagian dari masyarakat Bali telah berubah dari masyarakat tradisonal menjadi masyarakat modern. Perubahan masyarakat ini ditandai dengan pula oleh perubahan bentuk solidaritas mekanik ke solidaritas organik, artinya sifat-sifat kebersamaan cenderung memudar dan mulai muncul sifat individualis. Ciri perubahan ini adalah merosotnya peran sosial agama dan adat dalam mempengaruhi aspek kehidupan yang lainnya.
Sementara itu salah satu ciri masyarakat perkotaan sebagai masyarakat modern adalah adanya perubahan bentuk keluarga dari keluarga luas ( extended family ) menjadi keluarga batih ( nuclear family ). Perubahan bentuk keluarga tersebut juga berakibat adanya perubahan dalam sifat hubungan antara orang tua dengan anak-anak mereka, khususnya anak-anak remaja. Perubahan tersebut adalah dalam arah semakin berkurangnya pengawasan orang tua terhadap anak-anaknya, dan semakin terpisahnya orang tua dan anak-anak mereka ke dalam dua dunia yang berbeda ( Sanderson, 1995).
Perkembangan perilaku reproduksi atau perilaku seks remaja dalam suatu masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor sosial. Masuknya kebudayaan yanh merubah tata nilai, antara lain disebabkan oleh komunikasi global dan perubahan/inovasi teknologi. Sebaliknya faktor kreativitas internal yang berbentuk perubahan intelektual merupakan faktor penting dalam menentukan perkembangan perilaku reproduksi. Setiap bentuk perilaku memiliki makna tertentu yang ditujukan untuk kebutuhan tertentu. Remaja dapat memiliki variasi perilaku yang ditujukan untuk tujuan hidup yang beragam.
Perilaku reproduksi terwujud dalam hubungan sosial antara pria dan wanita. Hubungan antra pria dan wanita tersebut dalam waktu yang lama menyebabkan munculnya norma-norma dan nilai-nilai yang akan menentukan bagaimana perilaku reproduksi disosialisasikan. Berbagai bentuk perilaku yang diwujudkan lazimnya sejalan dengan norma-norma yang berlaku. Ada perilaku yang diharapkan dn sebaliknya ada perilaku yang tidak diharapkan dan sebaliknya ada perilaku yang tidak diharapkan dalam hubungan sosial masyarakat; begitu pula hubungan antara pria dan wanita dalam perilaku reproduksi. Perilaku reproduksi dalam hal ini adalah mengacu kepada perilaku seks pranikah di kalangan remaja. Perilaku seks remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu. Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada; baik itu di lingkungan keluarga, kelompok sebaya ( peer group ), banjar dan desa. Sedang faktor di dam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam suatu kelompok yang tidak permisif terhadap perilaku reproduksi sebelum menikah akan menekan anggotanya yang bersifat permisif. Dengan demikian kontrol sosial akan mempengaruhi sikap pemisif terhadap kelompok tersebut ( Reiss and Miller,1979).
Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja di antaranya adalah faktor keluarga. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak di antara berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan ( Kinnaird dan Gerrard, 1986).
Sehubungan dengan adanya interaksi budaya Bali dengan berbagai budaya lain, dan masukknya informasi melalui berbagai media komunikasi, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perilaku reproduksi di Bali. Pada tulisan ini akan dilihat dari beberapa dimensi, dimensi pengetahuan, dimensi pranata sosial, dan dimensi simbolik.

3. Aspek Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja
Boleh dikatakan bahwa sejak dahulu hubungan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan di Bali relatif bebas. Bebas yang dimaksud adalah tidak ada aturan yang ketat menentukan bahwa setelah mencapai umur tertentu laki-laki dan perempuan harus dipisahkan ke dalam kelompoknya masing-masing dalam melakukan sosialisasi. Anak-anak dan remaja Bali dapat bergaul dengan semua kelompok jenis kelamin. Hal ini dapat dilihat dalam aktivitas Seka Teruna Teruni (STT). Seperti halnya krama banjar setiap aktivitas STT pun selalu melibatkan anggota pria dan wanita.
Saat ini, untuk berbagai kepentingan remaja Bali tidak hanya bergaul dengan kelompok di lingkungan banjar saja. Dengan berbagai fasilitas yang dimilikinya pergaulan remaja sudah semakin luas dan semakin bebas. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi pengetahuan dan wawasan mereka, termasuk dalam bidang kesehatan reproduksi.
Selain melalui teman sumber informasi utama remaja tenang kesehatan reproduksi pada umumnya adalah media massa ( cetak dan elektronik). Paparan informasi seksual melalui media massa tidak begitu banyak memberikan kontribusi positif bagi remaja ( Mohamad, 1990). Tidak jarang informasi yang yang diperoleh hanya berupa alternatif pemecahan masalah bagi mereka yang pernah mempunyai masalah kesehatan reproduksi, seperti konsultasi seksologi di beberapa majalah atau koran.
Rubrik konsultasi seperti tersebut di atas biasanya diikuti oleh mereka yang sudah berumah tangga atau mereka yang berperilaku tidak sehat. Sementara informasi yang sifatnya mendidik, yang mampu meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja, sehingga mereka terhindar dari perilaku tidak sehat kurang memadai. Keadaan pengetahuan seperti ini menjadi faktor penting yang menyebabkan mereka semakin permisif melakukan hubungan seks pranikah. Masalah yang paling ditakuti oleh remaja yang melakukan hubungan seks pranikah adalah apabila sampai terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD).
Di satu sisi, dengan semakin mudah mereka mengakses informasi melalui berbagai media massa, maka ketakutan menghadapi KTD semakin berkurang. Di sisi lain, melalui sumber informasi yang sama juga dapat mencegah remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah. Hal ini dapat terjadi bila mereka memahami dan menyadari akibat-akibat dari perilaku tersebut.
Terjadi atau tidak terjadi perilaku seks pranikah sangat tergantung pada wawasan mereka tentang perilaku tersebut. Remaja mampu mempunyai wawasan dan berkepribadian yang mantap sangan dipengaruhi oleh pola asuh atau cara pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Anak yang dididik dengan cara yang baik akan melahirkan remaja dengan moral yang baik pula ( Djamaludin Ancok dalam Faturochman, 1992).
Bagi seorang individu moral merupakan landasan dalam perilaku. Tinggi rendahnya orientasi moral seseorang berpengaruh terhadap perilakunya, termasuk perilaku seksnya. Berperilaku seks yang tidak sesuai dengan moral akan menimbulkan perasaan bersalah pada diri si pelaku. Usaha menghindarkan diri dari perasaan bersalah dilakukan dengan dua cara yaitu tidak melakukan seks pranikah atau tidak meneruskan melakukan perilaku tersebut bila sudah pernah melakukannya ( Faturochaman, 1992).

4. Aspek Pranata Sosial dalam Perilaku Reproduksi Remaja
Sebagai suatu komunitas, desa adat di Bali mempunyai beberapa peranan. Salah satu di antaranya adalah menyelesaikan sengketa atau konflik yang menunjukkan adanya warga masyarakat yang melakukan tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan dan perbuatan tersebut mengganggu masyarakat secara keseluruhan. Konflikadat dapat bersifat kriminal,pencurian benda pusaka atau delik kesusilaan. Aturan tentang penyelesaian masalah-masalah tersebut termuat dalam awig-awig desa adat masing-masing, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis
Dalam adat Bali ada anggapan bahwa perilaku reproduksi yang tidak sehat atau delik kesusilaan menimbulkan akibat leteh kepada lingkungannya dan sebel kepada pelakunya. Leteh atau sebel secara simbolik berarti “kotor”. Menurut I Gusti Ketut Kaler (1982) ada 12 macam peristiwa atau keadaan yangn menimbulkan keletehan atau kesebelan. Beberapa di antaranya adalah berkaitan dengan perilaku tidak sehat, seperti lokika
sanggraha (hubungan seks yang dilakukan bukan dengan istri atau suami), memitra ngalang (hidup serumah tanpa menikah atau kumpul kebo), gamia gemana ( melakukan incest), kehamilan dan kelahiran di luar perkawinan, serta keguguran atau menggugurkan kandungan.
Perilaku hubungan seks pranikah merupakan salah satu delik kesusilaan yang dapat mengganggu atau menimbulkan ketegangan dalam wilayah desa adat. Bila terjadi pelanggaran dan perbuatan tersebut dilaporkan oleh krama banjar, maka orang yang melakukan pelanggaran berkewajiban melakukan upacara parayascita gumi ( upacara pembersihan untuk dirinya sendiri dan juga untuk desa).
Belakang ini kasus pelanggaran delik kesusilaan sering tidak dijatuhi sanksi adat, sehingga di kalangan masyarakat khususnya remaja ada anggapan perilaku reproduksi tidak sehat seperti hubungan seks pranikah, kumpul kebo, kehamilan di luar nikah, aborsi sebagai perilaku reproduksi yang biasa dan wajar. Sementara itu, krama adat tidak melaporkan kasus-kasus seperti itu, karena mereka menganggap masalah tersebut sebagai masalah pribadi, bukan lagi sebagai masalah bersama yang dapat menggangu keharmonisan desa adat. Ini menunjukkan bahwa solidaritas masyarakat telah mengalami pergeseran.
Di samping itu, meningkatnya kasus perilaku reproduksi di kalangan remaja, karena mereka tidak mengerti kalau perilaku tersebut merupakan perilaku yang melanggar norma adat. Hal ini terjadi karena sosialisasi tentang norma atau awig-awig yang berkaitan dengan maslah perilaku reproduksi sangant kurang.
Ketika jenis hiburan masih terbatas, seni pertunjukan tradisional berfungsi sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan berbagai macam informasi yangberkaitan dengan masalah adat dan agama, serta berbagai program pemerintah. Dengan berkembangnya berbagai aneka pilihan hiburan maka efektivitas media tradisional menjadi berkurang.
Salah sau faktor penting yang juga berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja adalah pergeseran bentuk rumah tangga (household) di Bali. Untuk alasan-alasan tertentu sekarang banyak rumah tangga yang hanya terdiri dari satu keluarga batih ( nuclear family) saja. Banyak keluarga-keluarga baru yang membuat rumah terpisah dari keluarga luasnya. Misalnya dengan alasan agar lebihdengan dari tempat bekerja.
Kecenderungan seperti ini banyak ditemukan di daerah perkotaan. Keadaan tersebut adalah salah satu faktor yang mungkin menyebabkan remaja mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan seks pranikah di rumah mereka sendiri.
Peranan anggota keluarga lain seperti paman, bibi, kakek, nenek, saudara sepupu dan sebagainya dalam suatu keluarga, tidak hanyadapat menjadi tempat mengadu bagi anak-anak bermasalah, tetapi juga dapat menjadi pengawas dalam suatu keluarga. Keberadaan mereka dapat mengontrol perilaku remaja. Dengan kata lain remaja yang tinggal dalam keluarga batih mempunyai peluang yang lebih tinggi untuk melakukan hubungan seks pranikah, terlebih bila kedua orang tuanya berkerja.

5. Aspek Simbolik Perilaku Reproduksi Remaja
Salah satu unsur penting dalam proses transformasi sosial adalah pergantian atau perubahan. Sesustu telah mengalami proses transformasi dapat dilihat melalui perbedaan wujud dari yang mengalami transformasi.
Ketika teknologi di bidang komunikasi dan informasi belum begitu maju, sarana hiburan dalam masyarakat bali bersumber pada seni tradisional seperti wayang, topeng, arja, drama gong dan sebagainya. Selain sebagai sarana hiburan, kesenian tersebut juga berfungsi sebagai alat komunikasi untuk mensosialisasikan norma-norma dan falsafah hidup masyarakat. Tetapi setelah teknologi di bidang media informasi semakin memasyarakat, jenis-jenis hiburan tersebut mulai diganti dengan oleh jenis hiburan lainnya yang dikemas dalam bentuk film layar lebar atau layar kaca, atau dalam bentuk alat elektronik lainnya. Oleh banyak kalangan sarana hiburan film, baik yang ditonton di bioskop maupun yang ditayangkan televisi disinyalir sebagai salah satu faktor yang mendorong perilaku reproduksi tidak sehat di kalangan remaja, selain gambar dan film porno.
Dalam rangka pembangunan Bali sebagai daerah tujuan wisata, pengembangan wilayah di ini dibedakan sesuai potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Sehubungan dengan hal tersebut daerah wisata dibedakan atas tiga tipe, yaitu daerah kunjungan wisata, daerah domisili, dan daerah penunjang wisata.
Agar pembangunan pariwisata di Bali dapat berkembang secara optimal, maka harus dibangun berbagai fasilitas yang diperlukan seperti hotel, restoran, diskotik, bar, pub,
bungalow dan sebagainya. Dari segi ekonomi berkembangnya industri pariwisata di Bali memang memberikan keuntungan yang tidak sedikit. Namun demikian tidak dapat dihindari dampak negatif yang disebabkan oleh berkembangnya industri pariwisata tersebut. Tempat-tempat wisata yang ada di Bali tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan asing dan domestik, tetapi juga menjadi salah satu pilihan untuk mendapatkan hiburan.
Sebagai daerah tujuan wisata Kuta dan Legian adalah daerah wisata yang banyak diminati oleh remaja Bali. Di daerah ini terdapat area remaja yang menunjukkan keterkaitan dengan permasalahan kesehatan reproduksi ( seksual) di kalangan remaja. Area tertentu yang diminati remajaadalah sepanjang Pantai Kuta dan Legian, pertokoan, dan tempat hiburan ( diskotik, karaoke, bar, pub, dan cafe). Pusat pertokoan seperti Matahari dan McDonal di Kuta merupakan alternatif baru yang dipilih ABG ( remaja ) sebagai tempat “nongkrong”. Selain itu pusat pertokoan juga merupakan tempat yang menjadi pilihan remaja untuk berkumpul, mencari kemungkinan mendapatkan pasangan, tempat berjanji bertemu pasangan, atau kemungkinan untuk melakukan transaksi naza atau obat terlarang ( PKBI, 1995). Bagi remaja yang telah biasa melakukan hubungan seks, bubgalow adalah salah satu alternatif tempat untuk melakukannya, khususnya bagi mereka yang biasa melakukan dengan “perek” ( Alit Laksmiwati, 1999).
Konskwensi pembangunan pariwisata ternyata memang tidak dapat dihindari akan menimbulkan dampak negatif bagi daerah di mana industri pariwisata dikembangkan. Di samping meningkatkan devisa negara dan menciptakan kesempatan kerja, industripariwisata juga memacu berkembangnya sektor jasa, termasuk di dalamnya bisnis seks ( seks komersial ).
Walaupun pemerintah daerah sampai saat ini tidak mengijinkan adanya tempat pelacuran resmi ( lokalisasi ), tetapi kenyataannya di Bali ada beberapa tempat yang dikenal secara umum sebagai kompleks pelacuran. Remaja adalah salah satu konsumen yang menikmati bisnis seks ini.
Untuk melihat terjadinya proses transformasi sosial dalam suatu masyarakat tidak hanya dapatdilihat dari segi materi, tetapi juga dari segi perilaku. Adanya perilaku yang dianggap menyimpang menunjukkan bahwa ada perbedaan bentuk perilaku dari perilaku yang dianggap ideal atau dianggap benar dalam masyarakat tersebut. Dalam masalah kesehatan reproduksiperilaku yang dianggap ideal adalah perilaku yang tidak
bertentangan dengan norma adat dan norma agama, karena perilaku seks hanya dapat dibenarkan bila telah memasuki lembaga perkawinan.
Pada masyarakat ada beberapa perilaku reproduksi yangkalaudilanggar akan menjadi delik adat, di antaranya adalah melakukan seks pranikah dan aborsi. Bila terjadi pelanggaran maka sanksi adat seharusnya dijatuhkan kepada pelaku. Tetapi tampaknya dewasa ini pemberian sanksi seperti di atas tidak lagi dilakukan, sehingga semakin banyak yang berani melakukan pelanggaran adat, termasuk para remaja. Perilaku seks pranikah dianggap perilaku yang sudah lumrah.
Adanya anggapan bahwa hubungan seks pranikah adalah sesuatu yang biasa,menunjukkan masyarakat telah semakin permisif terhadap hubungan seks pranikah. Kalau masyarakat semakin permisif terhadap perilaku seks pranikah, semsntara keterlibatan lembaga adat semakin melemah, maka kemungkinan masyarakat juga akan permisif terhadap aborsi sebagai salah satu alternatf pemecahan masalah bawaan yang disebabkan oleh perilaku seks pranikah. Angka yang menunjukkan remaja yang melakukan aborsi di Bali relatif tinggi ( Tjitarsa, 1995).
Kelahiran anak dari hubungan tanpa ikatan perkawinan oleh adat dianggap sebagai salah satu pelanggaran hukum adat. Anak-anak yang terlahir tanpa melalui lembagaperkawinan sepanjanghidupnya akan menyandang sebutan sebagai panak bebinjat (anak haram).Terhadap anak tersebut harus dilakukan beberapa upacara pembersihan, sehingga anak tersebut dan lingkungannya terhindar dari keletehan (Windia, 1994).
Ketika lembaga adat masik diterapkan secara konskwen, anak yang terlahir dari kehamilan yang terjadi sebelum perkawinan pada golongan tri wangsa disebut astra. Mereka tidak berhak menyandang gelar wangsa yang dimiliki oleh orang tuanya (Steadfield, 1986). Tetapi sekarang sebutan astra sangat jarang dipakai untuk mereka yang lahir dari kehamilan pranikah. Begitu pula bila kehamilan pranikah terjadi di antara mereka yang wangsa-nya sama, maka sebelum melaukan upacara perkawinan terlebih dahulu dilakukan upacara madewa saksi, yaitu pihak pria bersumpah kehadapan Tuhan dan leluhur bahwa kehamilan yang terjadi memang disebabkan oleh pria yang bersangkutan.
Penting, Pengenalan Masalah Kesehatan Reproduksi Kepada Remaja


Masalah Kesehatan Reproduksi harus diperkenalkan sejak dini kepada para remaja. Pengenalan tersebut dilakukan dalam rangka mendukung upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Kepala Bidang Keluarga Berencana pada Dinas Pemberdayan Keluarga Berencana dan Masyarakat (DPKBM) Sragen, Herry Susanto, mengatakan salah datu upaya pengenalan kesehatan reproduksi remaja ini telah dilakukan kepada siswa SMA dan SMK. Di antaranya dilakukan Juni lalu di Gedung Korpri Sragen. Kegiatan itu diikuti 200 siswa yang terdiri atas unsur pengurus OSIS, ketua kelas dan anggota Pramuka yang didampingi 20 guru BK.

”Kesehatan reproduksi remaja ini harus diperkenalkan kepada mereka sejak dini, untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, serta membentuk perilaku yang positif. Perilaku positif ini dalam arti berpacaran yang biasa dilakukan oleh remaja adalah sebagai faktor pendorong untuk belajar,” kata dia kepada Espos, Rabu (11/7).

Tak hanya soal kesehatan reproduksi remaja ini, materi lain yang perlu perkenalkan adalah tentang bahaya HIV/AIDS dan Narkoba.

Menurutnya, ketiga persoalan ini belum masuk dalam kurikulum sekolah. Selain itu, ketiganya, khususnya kesehatan reproduksi ini masih tabu dibahas orangtua di dalam rumah/keluarga. Sehingga perlu dilakukan pengenalan untuk mengantisipasi persoalan di kemudian hari.
Sementara itu, dia mengatakan bahwa sosialisasi ini mendapat respons yang baik dari para remaja. Salah satunya ditunjukkan dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan seputar reproduksi, di antaranya aborsi, penyimpangan seks, HIV/AIDS dan sebagainya.
”Responsnya cukup baik. Banyak para remaja yang bertanya seputar aborsi, penyimpangan seks, HIV/AIDS dan sebagainya,” kata dia.